BERITA

PHRI: Okupansi Hotel Baru Bergerak Maksimal 15 Persen

PHRI: Okupansi Hotel Baru Bergerak Maksimal 15 Persen

KBR, Jakarta - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut okupansi atau tingkat hunian terisi hotel saat ini rata-rata baru mencapai 15 persen. 

Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran mengatakan, masih rendahnya tingkat okupansi hotel di tengah pandemi COVID-19, disebabkan minimnya pergerakan wisatawan di berbagai daerah. 

Hal itu terlihat dari tingkat arus penerbangan yang dianggap masih belum menunjukkan angka peningkatan yang signifikan.

"Walaupun kita sudah membuka pergerakan tersebut, okupansi bergerak paling tinggi di angka 15 persen. Masih banyak juga yang single digit (prosentase okupansinya). Tidak stabil memang okupansi itu. Kalau hotel mudah sekali lihat, domestic traveler paling dominan di penerbangan udara. Kita lihat bahwa segmennya belum terlalu naik," ujar Maulana kepada KBR, Rabu (29/7/2020).

Rendahnya tingkat okupansi hotel, berbanding terbalik dengan pengeluaran operasional yang tinggi dan tetap harus dikeluarkan pengelola perhotelan.

Menurut Maulana, pembayaran listrik, gaji karyawan, hingga fasilitas kesehatan dan ketenagakerjaan memaksa arus kas yang ada terus terkuras. Di sisi lain, relaksasi kredit dan pajak yang diberikan pemerintah saat ini dinilai belum maksimal.

"Kalau mengikuti dari sejak Maret, April, Mei... Apa yang kami keluhkan terhadap operational cost kita. Khususnya yang tidak bisa dihindari. Walaupun tutup sekalipun, perusahaan itu tetap mengeluarkan biaya seperti listrik, karyawan, termasuk juga masalah BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan," tutur Maulana.

"Walaupun sudah ada pinjaman bank, tapi relaksasi itu juga tidak sempurna sesuai dengan yang didapat oleh pengusaha. Karena kalau dia tidak menghasilkan uang, dia tidak bisa membayar kewajiban membayar pinjaman. Intinya disana. Kalau ditanya kondisinya, ya memang sangat membutuhkan untuk bertahan," Maulana menambahkan.

Pinjaman untuk korporasi

Pada Rabu (29/7/2020), pemerintah meluncurkan tiga program untuk mendukung percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program itu ditandai dengan sejumlah penandatanganan nota kesepahaman bersama.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perjanjian pertama terkait pelaksanaan penjaminan pemerintah untuk pelaku usaha korporasi dalam rangka PEN. 

Selain itu, kedua, ada penandatanganan Nota Kesepahaman antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia tentang dukungan loss limit atas penjaminan pemerintah untuk pelaku usaha korporasi dalam rangka PEN.

Ketiga, adalah nota kesepahaman antara LPEI dan perbankan tentang penyediaan penjaminan pemerintah untuk pelaku usaha korporasi padat karya. Nota kesepahaman ketiga itu diikuti 15 bank, termasuk BNI, BRI, Maybank Indonesia, Bank DKI, dan Bank HSBC.

Perjanjian ketiga ini yang ditunggu implementasinya oleh kalangan pengusaha.

Berikut perbincangan Jurnalis KBR Resky Novianto dengan Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran, menanggapi penyediaan penjaminan pinjaman modal bagi korporasi padat karya. 

Apa tanggapan Anda terhadap adanya penjaminan kredit modal kerja sektor padat karya?

Kita menyambut baik kebijakan itu. Cuma kita nanti akan lihat implementasi di lapangan. Masalahnya regulasi itu suka bermasalah dalam pelaksanaan. Dalam eksekusinya. Semoga saat eksekusi, ketika ada problem nanti OJK bisa menjadi mediator. Supaya tujuan penyelamatan ekonomi tetap tercapai. 

Bagaimana perkembangan usaha hotel dan restoran saat ini?

Kalau ditanya kondisi hotel dan restoran saat ini, permasalahan utama kita ada di demand. Marketnya yang jadi masalah. Pembukaan pembatasan pergerakan (PSBB) itu sudah dilakukan, itu betul. Namun, kondisi tingkat konfidensi dari para traveler itu masih ada problem. Karena COVID-19 belum selesai. 

Kita masih beranggapan optimistis bahwa market akan growing di enam bulan ke depan. Namun untuk mencapai ke enam bulan itu, perusahaan khususnya di hotel dan restoran membutuhkan modal kerja guna bertahan.

Seberapa penting adanya penjaminan kredit tersebut? Seberapa besar kebutuhan saat ini?

Kalau mengikuti dari sejak Maret, April, Mei... Apa saja yang kami keluhkan terhadap operational cost kita. Khususnya yang tidak bisa dihindari. Walaupun tutup sekalipun, perusahaan itu tetap mengeluarkan biaya seperti listrik, karyawan, termasuk juga masalah BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

Walaupun sudah ada pinjaman bank, tapi relaksasi itu juga tidak sempurna sesuai dengan yang didapat oleh pengusaha. Karena kalau dia tidak menghasilkan uang, dia tidak bisa membayar kewajiban membayar pinjaman. Intinya disana. Kalau ditanya kondisinya, ya memang sangat membutuhkan untuk bertahan.

Walaupun kita sudah membuka pergerakan industri wisata, tingkat okupansi bergerak paling tinggi di angka 15 persen. Masih banyak bahkan yang single digit. Tidak stabil memang okupansi itu. Kalau hotel mudah sekali lihat. Domestic traveler paling dominan di penerbangan udara, dan kita lihat bahwa segmennya belum terlalu naik.

Apa yang sebenarnya anda paling harapkan dari adanya MoU penjaminan kredit bagi korporasi padat karya?

Yang lebih kami harapkan adalah implementasi dari MoU tersebut. Yang sering terjadi (masalah) kan implementasi. Sama dengan kebijakan terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 Tahun 2020, kemarin terkait restrukturisasi itu kan yang jadi masalah. Jadi, dengan implementasi yang baik, kita berharap hotel dan restoran memiliki daya tahan hingga enam bulan kedepan. Sehingga beriring dengan growing market-nya nanti, demand-nya. 

Editor: Agus Luqman 

  • COVID-19
  • PHRI
  • stimulus ekonomi
  • pemulihan ekonomi nasional

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!