BERITA

Omnibus Law RUU Cipta Kerja Berpotensi Ancam Penganut Kepercayaan

""Ketentuan itu melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan.""

Omnibus Law RUU Cipta Kerja Berpotensi Ancam Penganut Kepercayaan
Aktivis WALHI Indonesia menggelar aksi tolak RUU Omnibus Cipta Kerja di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (9/7/2020). (Foto: ANTARA/Reno Esnir)

KBR, Jakarta - Kelompok masyarakat sipil terus mendorong pemerintah dan DPR membatalkan pembahasan Rancangan Undang-undang Omnibus Cipta Kerja.

Koalisi masyarakat sipil menilai RUU Omnibus Cipta Kerja yang saat ini sedang dibahas di DPR tidak hanya berpihak pada kelompok pengusaha, tapi berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara. 

Salah satu kelompok warga yang terancam dengan RUU Omnibus Cipta Kerja adalah kelompok minoritas agama lokal atau kepercayaan.

Dalam rilis yang diterima KBR dari koalisi masyarakat sipil, disebutkan pasal yang mengancam kelompok minoritas adalah pasal 82 RUU Omnibus Cipta Kerja. 

Pasal itu merevisi pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kewenangan kepolisian mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. 

Dalam penjelasan RUU Omnibus Cipta Kerja, yang dimaksud dengan 'aliran' adalah: "semua aliran atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia”.

Koalisi masyarakat sipil menilai ketentuan itu berpotensi disalahgunakan dan membatasi hak-hak masyarakat, khususnya kelompok minoritas yang seringkali dianggap sebagai “aliran sesat”.

"Ketentuan itu sekaligus melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan," sebut koalisi sipil dalam rilis yang dikeluarkan Rabu (15/7/2020).

Koalisi terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), AKUR SUNDA Wiwitan, CHRM2 Universitas Jember, ELSAM, HRWG, ILRC, Imparsial, Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, Yayasan Pemberdayaan Komunitas ELSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama), The Wahid Foundation dan YLBHI.

Mengapa Mengancam Minoritas?

Koalisi masyarakat sipil menilai pemuatan pasal soal 'pengawasan aliran' dalam RUU Omnibus Cipta Kerja hanya makin memperkuat pasal penodaan agama dalam UU 1/PNPS/1965. 

Sedangkan pasal penodaan agama kerap memunculkan stigma yang melahirkan diskriminasi dan pelanggaran HAM bagi kelompok agama atau keyakinan minoritas.

Pencantuman 'pengawasan aliran' dalam RUU Omnibus Cipta Kerja, juga dianggap menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan negara wajib menjamin dan melindungi semua agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia, termasuk aliran kepercayaan atau aliran kebatinan. 

Koalisi sipil mengingatkan pemerintah dan DPR, bahwa diskriminasi terhadap penghayat, aliran kepercayaan atau aliran kebatinan melanggar konstitusi. Ini sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016. 

Putusan MK itu menyebut kewajiban pengisian kolom 'agama' dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan konstitusi dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak termasuk 'kepercayaan'.

Koalisi menilai rendahnya keberpihakan para pengambil kebijakan, yaitu DPR dan pemerintah, mengakibatkan regulasi yang dibuat tidak menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. Bahkan, tidak jarang aturan yang dibuat menimbulkan kontroversi dan berpotensi melanggar hak konstitusional warga. 

RUU Omnibus Cipta Kerja yang merupakan usul inisiatif pemerintah diserahkan ke DPR pada 12 Februari lalu. 

Editor: Rony Sitanggang 

  • RUU Omnibus Cipta Kerja
  • koalisi sipil
  • penghayat
  • aliran kepercayaan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!