BERITA

Suap Meikarta, Ini Alasan KPK Tetapkan Sekda Jabar Tersangka

Suap Meikarta, Ini Alasan KPK Tetapkan Sekda Jabar Tersangka

KBR, Bandung-  Komisi Pemberantasan Korupsi menduga Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa K meminta Pemerintah Kabupaten Bekasi dana suap sebesar Rp 1 Miliar kepada bekas Kepala Bidang Tata Ruang Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili. Permintaan dana itu terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta, Cikarang, Jawa Barat oleh PT Lippo Cikarang.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan,  Neneng meneruskan perminyaan dana Rp 1 Miliar kepada karyawan PT Lippo Cikarang agar perizinan pembangunan itu bisa ditindaklanjuti.

"Untuk penyelesaian proses RDTR Provinsi. Permintaan tersebut diteruskan kepada salah satu karyawan PT Lippo Cikarang dan direspon, bahwa uang akan disiapkan. Beberapa waktu kemudian pihak Lippo menyerahkan uang kepada Neneng Rahmi, kemudian Desember 2017 dalam dua tahap Neneng menyerahkan uang kepada Iwa K dengan total Rp 900 juta," ucap Saut di Gedung Merah Putih KPK , Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, (29/7/2019).


Saut menambahkan, KPK telah menetapkan Sekda Iwa K dan bekas Presiden Direktur Lippo Cikarang Bartholomeus Toto sebagai tersangka. Ia diduga menerima suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi tahun 2017.


Iwa K disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Sebelumnya KPK juga pernah menyebut akan mencermati peran korporasi dalam perkara ini. Sebab, pada fakta persidangan diketahui ada aliran dana yang berasal dari PT Lippo Cikarang.


Dalam perkara ini, KPK menduga bekas Bupati Neneng menerima uang suap sebesar Rp 1 miliar untuk pengurusan Rencana Retail Tata Ruang Kabupaten Bekasi. Selain Neneng, KPK juga telah menetapkan bersalah sembilan tersangka yang diamankan saat OTT di Bekasi. Adapun pihak yang terlibat adalah Sekda Jabar Iwa Kurniwa yang diduga sebagai penyuap.


Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyarankan bantuan hukum diberikan terhadap Sekertaris Daerah Iwa Karniwa. Bantuan hukum itu terkait statusnya yang telah menjadi tersangka kasus dugaan suap izin pembangunan Meikarta di Bekasi, Jawa Barat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Kepala Biro Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat, Eni Rohyani, saran itu dilayangkan karena otoritasnya secara hukum tidak berwenang.

"Ya pasti kita akan meminta Pak Sekda (Iwa) didampingi kuasa hukumnya. Karena kan kami tidak bisa beracara ya. Biro Hukum tidak bisa beracara dalam kasus pidana korupsi. Ini sedang sama beliau," kata Eni saat dihubungi melalui telepon, Bandung, Senin (29/07). 


Namun Eni belum bisa menjelaskan secara rinci soal rencana bantuan hukum yang disarankan terhadap Iwa. Alasannya adalah ada beberapa hal adminitrastif yang harus ditempuh oleh Iwa.


Saat ditanya soal pejabat pengganti sementara Iwa untuk menjabat Sekretaris Daerah, Eni menyebutkan tidak bisa memastikannya karena bukan kewenangan otoritasnya. Sekarang ini kata Eni, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Iwa Karniwa tengah menunggu surat resmi penetapan tersangka.


Dalam kasus ini, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung Jawa Barat menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin. Hakim juga menghukum Neneng agar membayar denda Rp250 juta atau hukuman pengganti (subsider) empat bulan penjara.

Hakim menganggap Neneng terbukti menerima suap proyek perizinan proyek Meikarta bersama empat anak buahnya dari perwakilan Lippo Group.


Vonis hakim itu lebih rendah dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menginginkan hukuman 7,5 tahun penjara dan denda senilai Rp 250 juta subsider kurungan empat bulan penjara.


Ketua Majelis Hakim Tipikor Bandung Tardi mengatakan Neneng  terbukti bersalah secara dan meyakinkan, bersama-sama dan berkelanjutan melakukan tindak pidana korupsi. Neneng juga dikenai hukuman tambahan membayar uang pengganti kepada negara.


"Membayar uang pengganti pada negara sebesar Rp68.416.350. JIka terpidana tidak membayar uang pengganti, dalam jangka waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah berketetapan hukum tetap, maka harta benda dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut. Jika harta benda terdakwa tidak mencukupi maka dipidana dengan pidana penjara enam bulan," ujar Tardi saat membacakan amar putusan, Bandung, Rabu (29/5/2019).


Tardi mengatakan hukuman lainnya yang harus ditanggung oleh Neneng Hasanah Yasin, yaitu pencabutan hak pilih dalam pemilihan jabatan publik selama lima tahun terhitung setelah menjalani pidana pokoknya.


Menghadapi putusan itu, Neneng Hasanah Yasin menyatakan pikir-pikir. Sikap yang sama juga diambil terpidana lainnya yaitu Kepala Dinas PUPR Jamaludin, bekas Kepala DPMPTSP Dewi Tisnawati, bekas Kadiskar Bekasi Sahat Maju Banjarnahor, dan bekas Kabid Tata Ruang PUPR Neneng Rahmi Nurlaili.


Keempat anak buah Neneng tersebut mendapat hukuman merata yaitu 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yang menuntut keempatnya hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.


Seluruh terdakwa dianggap terbukti melakukan, menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan menerima hadiah atau janji, yaitu para terdakwa telah menerima uang seluruhnya sejumlah Rp16,182 miliar dan SGD 270 ribu atau dengan total Rp 18 miliar.


Editor: Rony Sitanggang

  • Pengadilan Tipikor
  • vonis korupsi
  • Meikarta
  • KPK

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!