BERITA

OECD: Indonesia Minim Inovasi Teknologi Ramah Lingkungan

"“Sebagian besar R&D (litbang) dilakukan oleh organisasi riset publik, dan hubungannya dengan bisnis masih terbatas,” jelas OECD."

OECD: Indonesia Minim Inovasi Teknologi Ramah Lingkungan
Pengunjung mengamati kompor berbahan bakar sampah di salah satu stan pameran teknologi ramah lingkungan Green Growth & Sustainability Expo di Graha Cakrawala, Malang, Jawa Timur (27/6/2019). (Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto)

KBR, Jakarta- Indonesia adalah negara yang minim inovasi, terlebih di bidang teknologi ramah lingkungan. Penilaian ini disampaikan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan Green Growth Policy Review, yang terjemahannya dirilis Kementerian LHK pada Kamis (11/7/2019).

OECD mengakui Indonesia telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat sejak krisis moneter 1998 hingga sekarang. Namun, pertumbuhan itu berdampak besar pada kerusakan lingkungan.

Menurut OECD, pertumbuhan ekonomi Indonesia diikuti oleh peningkatan pencemaran dari sektor pertambangan, industri, pertanian, serta minimnya infrastruktur pengelolaan limbah.

Tingkat deforestasi dan kebakaran lahan gambut juga masih tinggi, hingga OECD menilai Indonesia sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dunia.


Baca Juga: 

10 Penyebab Deforestasi di Indonesia, Dari Sawit hingga Lapangan Golf 

Sepanjang 2019, Luas Kebakaran Hutan Sudah 530 Kali Lapangan Monas


Minim Inovasi

Menurut OECD, kegiatan riset dan inovasi lingkungan hidup di Indonesia lemah dibanding negara-negara Asia Tenggara, India dan Tiongkok.

Jika dihitung berdasarkan per kapita, indeks paten teknologi lingkungan hidup Indonesia hanya 0,02. Sangat rendah jika dibanding Brazil dan India yang indeksnya 0,3, Tiongkok 0,9, serta negara-negara anggota OECD yang indeksnya 19.

Pengeluaran kotor Indonesia untuk penelitian dan pengembangan (litbang) juga hanya berkisar 0,08 persen dari PDB tahun 2012, terendah di antara negara-negara G20.

“Sebagian besar R&D (litbang) dilakukan oleh organisasi riset publik, dan hubungannya dengan bisnis masih terbatas,” jelas OECD dalam laporannya.


Baca Juga:

Tahun 2020, Anggaran Pendidikan Agama Jauh Mengalahkan Riset dan Mitigasi Bencana

Anggaran Konservasi Terbatas, Menteri LHK Cari Dana ke Luar Negeri


OECD Dorong Indonesia Naikkan Anggaran Litbang

Sejak tahun 2016 Indonesia sudah membentuk lembaga pendanaan penelitian yang bernama Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI). Namun, alokasi dana untuk inovasi terkait lingkungan hidup masih sangat rendah.

Litbang di bidang energi misalnya, sebagian besar masih berfokus pada minyak, gas dan batu bara. “Hanya 1% dari penelitian energi bersih yang ditujukan untuk efisiensi energi atau energi terbarukan nonpanas bumi,” kata OECD.

Padahal, menurut OECD riset energi terbarukan sangat penting untuk menjaga ketahanan energi di masa depan sekaligus untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

OECD juga mengingatkan, Indonesia punya janji di forum Mission Innovation Global untuk meningkatkan anggaran litbang energi bersih dari sekitar Rp234 miliar tahun 2016 menjadi sekitar Rp2,1 triliun tahun 2021.

OECD pun merekomendasikan Indonesia agar, “Menyeimbangkan fokus anggaran litbang terkait energi di dalam komitmen Mission Innovation untuk mendukung penelitian energi terbarukan dan efisiensi energi secara memadai, selain bahan bakar fosil yang lebih bersih.”

Editor: Agus Luqman

  • energi terbarukan
  • energi bersih
  • Lingkungan
  • Kementerian LHK
  • OECD
  • litbang

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!