BERITA

Survei UI: Perokok Akan Berhenti Bila Harga Rokok 70 Ribu

""Yang terakhir, kita menyebut angka Rp 70 ribu per bungkus dan ada 74% perokok yang siap berhenti.""

Foto: KBR/Vitri Angreni
Foto: KBR/Vitri Angreni

KBR, Jakarta - Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) hari ini, Selasa (17/7/2018) merilis survei “Dukungan Publik terhadap Harga Rokok”. Temuan utama dari survei ini adalah sebagian besar perokok akan berhenti merokok jika harganya naik menjadi Rp 70 ribu per bungkus.

Peneliti PKJS-UI Renny Nurhasana mengatakan, ketika para perokok disodorkan dengan angka Rp 60 ribu per bungkus, hanya 66% yang mengaku siap berhenti.

“Yang terakhir, kita menyebut angka Rp 70 ribu per bungkus dan ada 74% perokok yang siap berhenti,” jelas Renny.

Instrumen yang bisa dipakai untuk menaikkan harga rokok adalah dengan menaikkan cukai rokok.

“Berapa pun cukainya, yang penting harga rokoknya yang tinggi,” tambah Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany.

Bahaya konsumsi tembakau terhadap kesehatan terus menerus digaungkan dan bahkan peringatan dan gambar seram akibat rokok pun tercetak dibungkusnya, namun ini tidak serta menurunkan angka prevalensi perokok. Sifat adiksi rokok membuat orang sulit berhenti, ditambah lagi harganya yang murah dan terjangkau. Saat ini harga rokok berkisar antara Rp 15-17 ribu per bungkus dan bisa pula dibeli ketengan.

Dari penelitian itu Renny menambahkan, para perokok aktif sebagian besar adalah pekerja mandiri (57,67%) disusul oleh buruh harian (48,63%) dengan rata-rata penghasilan di bawah Rp 2.9 juta per bulan. Sementara itu dari tingkat pendidikan, sebagian besar responden perokok aktif berpendidikan rendah. 

“Ini menguatkan argumen kita bahwa memang ada hubungan dari variabel-variabel pekerjaan, penghasilan dan tingkat pendidikan ke status merokok,” jelas Renny.

Tahun lalu, survei serupa dilakukan oleh Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) dan hasilnya menyebutkan 72,30% responden akan berhenti merokok jika harga naik menjadi Rp 50 ribu per bungkus.

Pekan lalu, Badan Pusat Statistik merilis temuan terbaru mereka yang menyebut bahwa untuk kali pertama prosentase kemiskinan di Indonesia hanya satu digit yaitu 9,82 persen. Meski begitu, belanja rokok keluarga miskin tetap seperti sediakala.

“Saya masih menggunakan angka Maret 2017 tetapi data Maret 2018 ini kurang lebih sama. Rokok tetap merupakan pengeluaran masyarakat miskin terbesar kedua setelah beras dan angkanya kurang lebih sama sekitar 11%. Yang baru kalau nggak salah sekitar 11,20 persen,” kata Kepala Unit Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ruddy Gobel.

Menurut Gobel, remaja yang seharusnya mendapatkan asupan gizi dari keluarga, justru kehilangan kesempatan itu karena uang belanja keluarga dipakai untuk membeli rokok. Data lain dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan kalau terjadi peningkatan drastis untuk perokok remaja laki-laki usia 15 sampai 19 tahun menjadi sebesar 54,8%. Maka ini akan membawa dampak yang lebih parah bagi remaja perokok aktif karena itu berarti tubuhnya digerogoti racun rokok.

Dia mengatakan harga rokok yang naik dengan tinggi akan membuat harga rokok tidak terjangkau dan pada akhirnya masyarakat miskin berhenti membeli rokok. Sebagai gantinya, uang tersebut bisa digunakan untuk keperluan yang lebih penting, seperti membeli telor, daging, biaya pendidikan dan kesehatan.

Survei yang dilakukan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) ini diikuti 1000 responden dengan usia minimum responden adalah 18 tahun. Survei digelar pada periode 1 hingga 31 Mei 2018 di seluruh wilayah Indonesia dan menggunakan desain studi cross-sectional dengan teknik random sampling.

Editor: Citra Dyah Prastuti

 

  • #RokokHarusMahal
  • #RokokMemiskinkan
  • #Rokok50Ribu
  • Rokok70ribu

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Khutbiati6 years ago

    Ada perokok awal mulanya karena ada rokok. Harga jual rokok tidak akan membuat perokok berhenti merokok. Berapapun harganya selagi rokok masih dijual pastilah dibeli. Ujungnya hanya akan menguntungkan pabrik dan distributornya. Kalau harga rokok naik apakah mungkin akan turun harga lagi, sepertinya tidak. Pabrik beli tembakau dengan harga yang tetap, lalu pabrik memproduksi rokok, terus dijual dengan harga 70.000? Mending harga yang dinaikin itu harga tembakaunya saja, sesekali petani tembakau dapat kesempatan bergembira, pabrik rokok menangis dan mungkin bisa tutup. Atasi masalah dari sumbernya, sumbernya, sumbernya.