BERITA

Fahri Hamzah: UU Pemilu Belum Tentu Untungkan Jokowi

Fahri Hamzah: UU Pemilu Belum Tentu Untungkan Jokowi

KBR, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menilai salah satu isu krusial dalam Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu yakni mengenai syarat partai bisa mencalonkan presiden (presidential treshold/PT) 20 persen diarahkan oleh Presiden Joko Widodo.

Ia mengatakan, ada spekulasi bahwa ini merupakan langkah Jokowi menghambat calon presiden lain pada Pemilu 2019 nanti.


"Jadi sebenarnya masalahnya tinggal satu, yaitu Presidential Treshold dan ini di-drive sama Presiden. Tapi menurut saya, tak ada jaminan ini menguntungkan Jokowi. Orang Jokowi tidak meng-grip partai. Yang punya grip terhadap partai dan modalnya riil ya Prabowo. Modalnya riil ditangannya," kata Fahri di Gedung DPR, Jumat (21/7/2017).


Menurut Fahri, Jokowi belum tentu mendapat tiket untuk pemilihan Presiden 2019. Ia mengatakan, tak ada jaminan Jokowi tidak ditinggalkan partai pendukung. Posisi Jokowi, kata Fahri, berbeda dengan Prabowo yang berstatus Ketua Umum Partai Gerindra.


"Siapa bilang Jokowi pasti dapat tiket ke pemilu presiden? Belum tentu," ujarnya.


Lagi pula, kata Fahri, pasal syarat pencalonan presiden dalam UU Penyelenggaraan Pemilu bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ia beralasan hal itu bertentangan dengan putusan MK sebelumnya tentang pemilu serentak.


"Jadi ini seperti menciptakan semacam ketidakpastian politik," kata Fahri.


Sidang paripura DPR mengesahkan RUU Penyelenggaraan Pemilu menjadi undang-undang, pada Jumat (21/7/2017) dinihari. Dalam Undang-undang ini, peserta sidang secara aklamasi menyetujui pasal 190 tentang syarat pencalonan presiden adalah partai atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen dari total kursi di DPR atau memperoleh 25 persen total suara sah secara nasional.


Baca juga:


Menguntungkan Jokowi

Pengamat politik dari CSIS J Kristiadi memperkirakan peta politik pada 2019 pasca-pengesahan Undang-undang Pemilu, akan mirip dengan Pemilu 2014.


J Kristiadi mengatakan penetapan ambang batas presiden atau presidential threshold yang dipatok 20 persen akan memperkuat posisi Presiden Joko Widodo atau Jokowi, karena partai-partai yang menyokongnya tidak memiliki calon lain. Adapun lawan terkuat Jokowi dalam Pemilu 2019, diperkirakan tetap Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.


"Sudah ada langkah maju ini. Tentu ada lawan yang sudah mulai diperhitungkan saat ini. Siapa sih lawannya Jokowi yang potensial sekarang ini? Itu kan lawan 2014 lalu. Jadi pintu lawan Jokowi yang masuk presiden 2019 sudah semakin sempit, pintu untuk masuk. Sementara partai yang mendukungnya, siapa yang masih punya calon? Golkar, Hanura, Nasdem, semua tidak. Ini akan kembali ke skenario 2014," kata Kristiadi kepada KBR, Jumat (21/7/2017).


Kristiadi mengatakan, keuntungan pertama Jokowi setelah Parlemen mengesahkan UU Pemilu dengan presidential threshold, adalah tidak akan bermunculan banyak calon untuk melawannya di Pemilu 2019. Dengan demikian, Jokowi bisa semakin dominan mendulang suara, terutama dengan bergabungnya Golkar dalam koalisi belakangan ini.


Ia menambahkan apabila kekuatan empat partai yang menolak presidential threshold kompak, yaitu Partai Gerindra, PAN, PKS, dan Partai Demokrat, maka calon yang potensial diusung tetap Prabowo Subianto.


Meski dinilai dominan, kata Kristiadi, Jokowi masih tetap harus membuktikan pada publik tentang prestasinya selama menjabat sebagai Presiden sejak 2014 lalu. Prestasi itu akan menjadi penentu kemenangan Jokowi lantaran berbagai isu yang menyerangnya saat Pemilu 2014 diperkirakan akan terulang.


Ia mengatakan selain peta politik yang mirip, model kampanye pada Pemilu 2019 nanti juga akan tetap sama dengan Pemilu 2014.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • Pemilu 2019
  • Pemilu Serentak 2019
  • pemilu presiden 2019
  • UU Pemilu
  • calon presiden 2019
  • pertarungan politik 2019
  • revisi UU pemilu

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!