BERITA

Sidang Rakyat IPT Beberkan 10 Kejahatan Kemanusiaan Peristiwa 1965

Sidang Rakyat IPT Beberkan 10 Kejahatan Kemanusiaan Peristiwa 1965

KBR, Jakarta - Majelis Hakim International People's Tribunal (IPT) 1965 memutuskan ada sepuluh tindakan kejahatan yang terbukti terjadi pada peristiwa setengah abad silam. Ketua Majelis Hakim Internasional People’s Tribunal 1965, Zakeria Yacoob menyebut, putusan sidang ini merupakan hasil dari kesaksian 20 orang dan ratusan lembar dokumen sebagai bukti.

"Kami menerima ratusan dokumen sebagai bukti. Jaksa mengajukan 9 dakwaan kejahatan atas kemanusiaan. Berbagai bukti dan bahan pendukung dipertimbangkan, menjadi dasar laporan ini," kata Yacoob dari Cape Town, Afrika Selatan.

Dia pun menyayangkan pemerintah Indonesia yang tak memenuhi undangan Tribunal untuk hadir. Padahal sebelumnya, mereka telah diundang. Begitu pula dengan pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

"Patut disesalkan Negara Indonesia tak memenuhi undangan untuk hadir," ucapnya.

Ia melanjutkan, laporan ini juga membenarkan terjadinya sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan yang ditujukan secara sistematis terhadap PKI, organisasi underbouw, anggota, pendukung bahkan pihak yang tak memiliki hubungan dengan PKI. Serangan ini, kata dia, kemudian berkembang menjadi pembersihan terhadap pendukung Presiden Soekarno dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).

"Unsur-unsurnya sesuai dengan dakwaan, yakni pembunuhan massal, pemenjaraan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, eksil, benar-benar dilanggar," papar Yacoob.

Dalam salinan putusan IPT 1965 yang diterima KBR, disebut bahwa jumlah orang yang terbunuh pasca G30S, diperkirakan sekitar 400 ribu hingga 500 ribu jiwa. Di mana aksi pembunuhan itu merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.


Pembasmian Kolektif PKI dan PNI

Yacoob menyebut, pembunuhan massal itu merupakan pembasmian yang bersifat kolektif. "Bukan diarahkan pada pribadi. Suatu tindakan bisa dikatakan pembasmian jika mengakibatkan langsung dalam jumlah besar."

Sementara terkait pemenjaraan tanpa proses pengadilan, para hakim menilai tindakan itu sebagai kejahatan serius terhadap kemanusiaan dan melanggar UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Yacoob pun mengatakan, pemenjaraan tanpa proses peradilan itu merupakan pelanggaran terhadap kaidah hukum internasional. Sebab, Negara Indonesia secara individual atau bersama organsiasi lain dengan semena-mena memenjarakan anggota, pengikut, simpatisan PKI, termasuk pendukung Soekarno, dan pendukung PNI.

Baca Juga: Putusan IPT 1965 Disiarkan di 5 Negara

"Mereka ditahan tanpa diadili dan sebagian besar ditahan tanpa surat penahanan dan karena itu melanggar hukum internasional," ucapnya. Ia pun menyebut, setidaknya ada sejuta orang ditahan berdasarkan penggolongan yang ditentukan berdasarkan kesetiaannya pada komunisme.

Bukti yang cukup, terdapat pada tindakan perbudakan. Keputusan hakim IPT 1965 menyebutkan, kerja paksa terhadap orang-orang yang adalah bentuk kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.

"Jelas bahwa para tahanan yang berada dalam kamp kerja dikatagorikan sebagai budak. Tindakan ini juga bagian dari serangan menyeluruh terhadap PKI dan yang berkaitan dengan partai tersebut," imbuhnya.

Begitu pula dengan tindakan penyiksaan. Hakim menilai, terdapat bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya penyiksaan dalam skala besar terhadap tahanan. Seluruh kejadian itu direkam dalam laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

Kata Yacoob, penyiksaan sebetulnya sudah dilarang di Indonesia apabila merujuk pada UU 45 pasal 28 ayat 2. Undang-Undang tentang HAM pasal 33 ayat 1 yang menyebutkan setiap orang berhak untuk bebas atas penyiksaan.

Sedang mengenai penghilangan secara paksa, bukti-bukti yang dilampirkan Komnas HAM dan Komnas Perempuan memperkuat kesaksian korban di pengadilan. Hakim menyebut, tindakan penghilangan secara paksa itu dilakukan sebelum memenjarakan atau menyiksa korban. Sementara, pada kasus lain nasib para korban tak pernah diketahui.

"Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan di Tribunal menegaskan terjadi penghilangan paksa dan banyak orang hilang," tegasnya.

Sementara terkait tindakan kekerasan seksual, terang terbukti dari temuan Komnas Perempuan yang disampaikan dalam Sidang Tribunal. Di mana bukti-bukti yang diberikan itu saling mendukung fakta dan memberikan gambaran kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan yang diduga terlibat PKI.

"Bukti lisan dan tulisan dalam kekerasan seksual adalah lengkap dan tak terbantahkan. Pernyataan para saksi menyediakan informasi dan jelas tentang berbagai kejahatan," kata Yacoob.

Ia juga menegaskan, pengalaman yang disampaikan para saksi saling menguatkan dan menggambarkan kekerasan seksual yang dilakukan dalam skala yang luas dan waktu yang panjang terhadap perempuan yang dikaitkan atau bersimpati pada PKI. Dijabarkan pula, tindakan kekerasan ini meliputi pemerkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya.


Genosida

Kejahatan lain yang menurut majelis hakim terbukti adalah terjadinya genosida. Fakta-fakta yang dihadirkan jaksa penuntut dalam sidang tribunal, menurut mejelis hakim, termasuk dalam tindakan-tindakan yang disebutkan dalam Konvensi Genosida. Dan Indonesia, terikat pada ketentuan Konvensi Genosida 1948 di bawah hukum internasional.

Lebih lanjut hakim menjelaskan, genosida menimpa kelompok nasionalis yang merupakan anggota PKI dan PNI. Pasalnya, pasca 1 Oktober 1965, Soeharto mengambil kontrol atas Ibu Kota dan angkatan bersenjata. Kemudian pada 10 Oktober 1965, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk untuk menumpas PKI dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya. 

Genosida ini tak lepas dari propaganda palsu yang didengungkan Soeharto atas pembunuhan tujuh petinggi tentara di Lubang Buaya. Di sana, Gerwani yang merupakan organisasi underbow PKI, digambarkan menyileti tubuh para jenderal dan memotong penis mereka. Tak ketinggalan, Soeharto turut membuat karangan, para Gerwani menari telanjang saat pembunuhan terjadi.

Baca Juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/headline/07-2016/temuan_dan_rekomendasi_ipt65/83276.html">Temuan dan Rekomendasi Majelis Hakim IPT '65</a></b></li>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/headline/07-2016/indonesia_bersalah_atas_genosida_di_tragedi_65/83275.html">Indonesia Bersalah Atas Genosida pada Tragedi 65</a></b> </li></ul>
    

    Menurut majelis hakim, apa yang terjadi di Lubang Buaya tidaklah benar. Sebab, fakta yang sebenarnya terjadi diketahui oleh para pimpinan militer di bawah Soeharto namun kemudian sengaja dipelintir. Propaganda yang bertahan selama tiga dekade ini, menurut hakim,  juga mengakibatkan penolakan pemenuhan hak sipil para penyintas 1965. Hakim pun menilai, penyebaran propaganda sesat tersebut adalah sebuah tindakan kekerasan itu sendiri.

    Hakim IPT 1965 juga mencatat keterlibatan tiga negara yakni Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dengan porsi yang berbeda-beda atas aksi kejahatan 1965.

    AS disebut memberi dukungan kepada militer Indonesia dengan mengetahui bahwa mereka akan melakukan sebuah pembunuhan massal. Sementara Inggris dan Australia melakukan kampanye propaganda yang menyesatkan berulang-ulang dengan menyebarkan informasi dari pihak militer. Semua itu, kata Jacoob, ada dalam bukti-bukti yang diajukan ke Tribunal.

    "Beberapa pekan setelah 30 Septembar, AS, Inggris, dan Australia melalui diplomat mereka di Jakarta dan media serta pengamat mengetahui kalangan komunis sedang dibantai. Awal 1966, jumlah korban dilaporkan berkisar 100 ribu sampai empat kali lipatnya."

    Kesepuluh tindakan kejahatan itu menurut Ketua Yayasan IPT 1965, Saskia Wieringa, disetujui secara bulat oleh majelis hakim. "Tidak ada dissenting opinion, semua hakim setuju. Tak ada satu suara yang dissenting," ungkap Saskia kepada KBR.



    Editor: Nurika Manan

  • IPT 1965
  • tragedi65
  • pengumuman IPT
  • Ketua Yayasan IPT 1965
  • Saskia Wieringa
  • genosida

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!