BERITA

Aktivis: Rekonsiliasi di Awal Adalah Cara Pikir Yang Salah Dalam Penyelesaian HAM

Aktivis: Rekonsiliasi di Awal Adalah Cara Pikir Yang Salah Dalam Penyelesaian HAM

KBR, Jakarta- Ketua Setara Institute Hendardi melihat adanya kekeliruan cara berpikir Jaksa Agung, Komnas HAM dan Kementerian Hukum dan HAM, untuk menempuh proses rekonsiliasi di awal sebelum dilakukannya proses yudisial. Ini terkait rencana pemerintah yang ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan jalan rekonsiliasi.

Hendardi menegaskan bahwa prinsip rekonsiliasi adalah satu bentuk alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang diputuskan setelah didapatkan kesimpulan kasusnya secara yudisial terlalu sulit untuk diselesaikan. Artinya rekonsiliasi adalah keputusan yang muncul setelah adanya proses penyelidikan dan penyidikan.

Sementara yang dilakukan Jaksa Agung dan Komnas HAM, justru menempuh rekonsiliasi di awal, tanpa proses judisial terlebih dahulu. Menurut Hendardi, cara kerja ini dijamin tidak akan menghasilkan kebenaran materiil atas sebuah peristiwa hukum.

"Yang dilakukan Jaksa Agung dan Komnasham ini justru memilih jalan rekonsiliasi di awal dan justru menegasikan proses judisial terlebih dahulu. Cara kerja ini dijamin tidak akan menghasilkan kebenaran materiil atas sebuah peristiwa hukum," kata Handardi kepada wartawan di Jakarta, (9/7/2015). 


Sebelumnya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Harris Azhar tetap mendesak pemrintah untuk menggunakan mekanisme hukum dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kata Harris, cara penyelesaian yang tepat menurut UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM adalah mekanisme hukum. Ia meminta, lembaga pemerintah menggunakan mekanisme legal tersebut. 

red

Keterangan Foto: Aktivis HAM berkumpul untuk deklarasi masyarakat sipil dukung keadilan hakiki para korban pelanggaran HAM di Indonesia (9/7/2015) Foto: Wydia Angga KBR 


Sementara itu, Guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis Suseno menilai bahwa maaf-memaafkan atau rekonsiliasi hanya bisa dilakukan antara dua pihak yang setara. Tapi dalam hal pelanggaran hak asasi berat masa lalu yang menjadi sorotan ini adalah menghadapkan korban dengan pelaku yang tidak seimbang. Kata Frans, tidak bisa para pelaku itu memaafkan para korban dan tidak etis pula para pelaku menawarkan rekonsiliasi. Menurut Frans, langkah yang harus ditempuh adalah dengan mengakui para korban sebagai korban, kemudian langkah kedua adalah tetap memproses terhadap ketidakadilan yang terjadi.

"Yang harus kita cegah adalah ajakan untuk rukun tetapi kejahatan tidak diakui sebagai kejahatan," ujar Frans dalam acara yang sama.

Senada dengan Frans Magnis Suseno, aktivis hak asasi manusia HS Dillon melihat bahwa banyaknya orang tak bersalah yang dibunuh itu merupakan tragedi bangsa. Dillon menganggap bahwa negara minimal ikut bertanggung jawab atas terjadinya pembunuhan itu. Setelahnya, negara juga dipandang terlibat dalam mencederai hak-hak keluarganya.

Paling tidak, menurut Dillon, yang harusnya negara lakukan adalah mengakui posisi korban, kemudian menjalankan upaya yuridis. Dalam prosesnya, Dillon pun menegaskan bahwa negara tidak bisa seenaknya mengatakan bahwa itu tidak bisa dikerjakan sebelum masyarakat yakin bahwa segala upaya telah ditempuh untuk dalam penyelesaian yuridisnya, setelah itu barulah boleh meminta maaf kepada korban. 

Editor: Dimas Rizky

  • rekonsiliasi HAM
  • Pelanggaran HAM berat
  • KontraS
  • Franz Magnis Suseno
  • Setara Institute

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!