NASIONAL

IDI: RUU Pendidikan Kedokteran Harus Jadi Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis

"Saat ini, rata-rata ketersediaan tenaga dokter spesialis Indonesia berkisar 1.300-4.900 orang saja, sedangkan kebutuhannya diperkirakan mencapai 25 ribu orang."

Angela Ranitta

RUU Pendidikan Kedokteran
Dokter memeriksa kesehatan warga di daerah perbatasan di Kabupaten Belu, NTT, Minggu (22/5/2022). (Foto: ANTARA/Kornelis Kaha)

KBR, Semarang - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendesak percepatan produksi dokter spesialis melalui RUU Pendidikan Kedokteran.

Ketua Dewan Pertimbangan PB IDI, Ilham Oetama Marsis mengatakan ketersediaan tenaga dokter spesialis di Indonesia saat ini masih jauh dari cukup.

Di satu sisi, pendidikan spesialis yang harus mereka jalani memakan waktu yang cukup lama.

“Kita bisa melihat di sini, sebagai contoh untuk bidang obstetri dan ginekologi tersedia saat ini 4.900 SpOG. Nah, kebutuhan ke depan adalah 7.200 SpOG. Dan kita memerlukan waktu 10 tahun (untuk pendidikan spesialis). Jadi kalau kita melihat spesialis yang lain rata-rata ada yang kebutuhan waktunya 40 tahun,” ungkap Prof. Marsis dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislatif DPR RI dengan PB IDI, Senin (13/6/2022).

Untuk dokter spesialis anak, saat ini yang tersedia baru 4.800 dokter spesialis anak (SpA), dari kebutuhan 15.000 SpA. Butuh waktu 20 tahun dengan produksi 250-300 SpA per tahun untuk mengejar kekurangan dokter spesialis anak.

Sedangkan untuk ostetri ginekologi, saat ini yang tersedia baru 4.900 SpOG dari kebutuhan 7.200 SpOG. Diperlukan waktu 10 tahun untuk mengejar kekurangan, jika rata-rata produksi 250-300 dokter SpOG per tahun.

Kebutuhan dokter spesialis paru (SpP) sebanyak 2.700 SpP, namun saat ini yang tersedia hanya 1.300 SpP. Sehingga dibutuhkan waktu 14 tahun jika rata-rata produksi dokter spesialis paru 100 SpP pertahun.

Kebutuhan spesialis penyakit dalam (SpPD) sebesar 4.600 SpPD, sedangkan kebutuhan mencapai 25.000 SpPD. Dibutuhkan waktu 40 tahun untuk mengejar kekurangan itu jika rata-rata produksi dokter SpPD sebesar 300 orang pertahun.

Untuk spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah (SpJP), Indonesia butuh 3.000 SpJP, namun yang tersedia saat ini hanya 1.350 SpJP. Sehingga dibutuhkan waktu 15 tahun jika produksi sebesar 100 SpJP pertahun.

Baca juga:

Ketua Dewan Pertimbangan PB IDI, Ilham Oetama Marsis menambahkan saat ini program pendidikan dokter spesialis (PPDS) hanya bisa menerima 20-30 persen dari total peminatnya. Maka dari itu, diperlukan reformasi sistem pendidikan dokter untuk menambah kuota penerimaan PPDS.

PB IDI juga mengatakan percepatan produksi dokter spesialis di Indonesia dapat diwujudkan salah satunya melalui digitalisasi pendidikan dokter.

Menurutnya, sistem pendidikan kedokteran yang berlaku di Indonesia saat ini menyebabkan ketertinggalan produksi dokter spesialis hingga 40 persen.

Saat ini, rata-rata ketersediaan tenaga dokter spesialis Indonesia berkisar 1.300-4.900 orang saja, sedangkan kebutuhannya diperkirakan mencapai 25 ribu orang.

Sementara itu, program pendidikan dokter spesialis membutuhkan waktu sedikitnya 10 tahun. Pengesahan RUU Pendidikan Kedokteran diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengejar ketertinggalan produksi dokter spesialis di Indonesia.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

  • dokter spesialis
  • PB IDI
  • pendidikan kedokteran
  • RUU Pendidikan Kedokteran

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!