BERITA

Revisi 'Tanggung' UU ITE

"ELSAM meminta revisi UU ITE dilakukan secara menyeluruh. Revisi tidak cukup hanya mengubah kalimat dalam pasal-pasal bermasalah. Perubahan kalimat hanya membuat masalah yang sama."

Yovinka Ayu, Astri Yuana Sari, Resky Novianto, Wahyu Setiawan

Revisi 'Tanggung' UU ITE
Ilustrasi. (Foto: Oleksiy/Shutterstock.com/Creative Commons)

KBR, Jakarta - Pemerintah memastikan akan merevisi empat pasal dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Keputusan itu didukung oleh sejumlah pihak. Di sisi lain, rencana pemerintah itu mendapat perhatian dari koalisi masyarakat sipil, lantaran tidak cukup menghilangkan esensi dari pasal karet yang dipermasalahkan.

Presiden Joko Widodo menyetujui usulan merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang memuat sejumlah pasal karet.

Pernyataan itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam konferensi pers, Selasa (8/6/2021).

Mahfud mengatakan, ada empat pasal yang disetujui untuk direvisi. Antara lain, pasal penggunaan data pribadi, pasal distribusi konten terkait kesusilaan, judi hingga pencemaran nama baik, pasal penyebaran hoaks hingga SARA, dan pasal perbuatan terkait konten yang dianggap merugikan.

“Itu semua untuk; menghilangkan multitafsir, menghilangkan pasal karet, dan menghilangkan kriminalisasi yang kata masyarakat itu banyak terjadi. Kata masyarakat sipil, itu banyak terjadi diskriminasi. Kita perbaiki, tanpa mencabut UU ITE karena masih sangat diperlukan untuk mengatur lalu lintas komunikasi kita lewat dunia digital,” kata Mahfud MD.

Nantinya, revisi UU ITE akan dilakukan secara terbatas. Mahfud juga mengatakan, revisi Undang-undang ITE tidak akan menghasilkan banyak perubahan. Revisi hanya untuk mempertegas maksud dari empat pasal itu.

Selain itu, akan ada penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kapolri, Jaksa Agung dan Menkominfo tentang pedoman implementasi UU ITE tersebut.

“Itu sambil menunggu revisi Undang-undang itu bisa dijadikan pedoman agar tidak terjadi kesewenang-wenangan kalau itu ada, baik di pusat maupun di daerah,” ucapnya.

Senada dengan Mahfud, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, selain untuk memperjelas isi keempat pasal, Undang-undang ITE revisi terbatas juga diperlukan untuk mengatasi penggunaan media sosial yang dianggap brutal.

“Tetapi tetap kita perlu ada hak yang sebenarnya karena dengan teknologi media sosial yang sekarang ini, beberapa negara juga sudah merasakan bagaimana dampak dari pengaruh dari media sosial. Ada yang mengatakan, ini survei kalau nggak Google atau dari mana, bahwa Indonesia termasuk media sosialnya itu sangat brutal. Termasuk level yang sangat brutal media sosial kita. Mudah-mudahan dengan ini kita bisa melakukannya dengan baik,” ujar Yasonna saat Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI, Rabu (9/6/2021).

Mestinya dihilangkan

Revisi Undang-undang ITE juga mendapat dukungan dari Komisi I DPR RI. Anggota Komisi I DPR RI Sukamta Miharja mengatakan banyak pasal yang memberatkan masyarakat bahkan cenderung merugikan. Namun ia memilih pasal-pasal karet dihilangkan, karena sudah ada dalam KUHP.

“Direvisi dengan dihilangkan itu pasal-pasal karetnya. Karena sudah ada di dalam KUHP. Perbuatan yang diancamkan itu, sebetulnya adalah perbuatan semuanya dari pasal 27, 28, 29 sampai 34. Itu terjemahan copy paste dari KUHP. Hanya sekarang ditambah, kalau dilakukan di media digital maka ini lho ancamannya di UU ITE. Kalaupun nanti dikasih pedoman, saya khawatir kalau perilakunya masih begini, ini jadi persoalan,” ujar Sukamta.

Kendati demikian, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menganggap rencana revisi Undang-undang ITE oleh pemerintah itu masih tanggung.

Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar mengatakan revisi UU ITE tidak cukup hanya mengubah kalimat dalam pasal-pasal yang bermasalah. Perubahan kalimat hanya akan membuat masalah kembali pada persoalan yang sama.

“Ketika diterapkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 yang mengubah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tadi kan masih dijumpai banyak permasalahan. Karena memang secara perumusan masih problematis. Ketika hari ini juga dilakukan hal yang sama, melakukan revisi terbatas terhadap pasal 27, 28, 29, 36, dan 45 tadi, ini juga khawatirnya juga akan sama saja hasilnya. Masih akan terus muncul persoalan dalam penerapan ketentuan-ketentuan itu karena memang ada problem dalam perumusan pasal 27, 28, 29 nya,” kata Wahyudi saat dihubungi KBR, Rabu (9/6/2021).

Untuk itu, Wahyudi Djafar menyarankan agar revisi terhadap Undang-undang ITE bisa dilakukan secara menyeluruh. Ia juga menyebut, perlunya dekonstruksi ulang terhadap rumusan UU ITE guna memastikan undang-undang tersebut sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini.

“Apalagi ketika ada tambahan Pasal 45C yang ingin memindahkan ketentuan Pasal 14 dan 15 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 46 tentang Peraturan Hukum Pidana yaitu mengatur tentang kabar bohong. Sementara di dalam Undang-undang ITE sendiri belum ada kejelasan definisi tentang apa itu kabar bohong yang mengandung bahaya dan bisa dipidana. Batasan itu kan tidak ada, dan ini justru malah akan menjadikan ketentuan-ketentuan yang seperti itu bisa lebih karet di dalam penerapannya,” kata Wahyudi.

Ia berharap pedoman implementasi Undang-undang ITE melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) dari tiga instansi terkait dapat diterapkan dengan baik, sehingga tidak menimbulkan masalah di tengah masyarakat.

Editor: Agus Luqman

  • UU ITE
  • Mahfud MD
  • Jokowi
  • pasal karet
  • RKUHP
  • pencemaran nama baik

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!