BERITA

Menyisir Problem dan Solusi Gawat Darurat Sampah di Indonesia

Menyisir Problem dan Solusi Gawat Darurat Sampah di Indonesia

SELAMA bertahun-tahun, pengelolaan sampah di Indonesia selalu bermasalah. Jumlah sampah yang terbuang selalu meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.

Komisi IV DPR tahun ini sampai membentuk Panitia Kerja mengenai pencemaran sampah dan limbah untuk mendalami penyebab dan mencari solusi.

Kementerian Lingkungan Hidup mencatat sepanjang tahun lalu volume sampah di Indonesia mencapai 67 juta ton.

Ada kenaikan sekitar 3 juta ton sampah dibanding tahun sebelumnya. Banyaknya sampah ini memunculkan masalah, karena kerap banyak sampah menggunung tidak terangkut.

Wakil Ketua Komisi IV yang membidangi lingkungan di DPR Budisatrio Djiwandono menyebut masalah sampah timbul karena perilaku masyarakat dan dampak industri.

Masifnya kegiatan investasi dan industri memang menghasilkan banyak manfaat bagi negara. Namun, menurut Budisatrio, di sisi lain ada dampak sosial yang juga muncul, salah satunya masalah sampah dan limbah.

"Akibat pemusatan dan pertambahan penduduk di wilayah perkotaan dan investasi, infrastruktur dan industri secara besar-besaran, menyebabkan persoalan limbah menjadi masalah pelik di masa depan. Inti persoalan bisa jadi terletak pada ketidakpedulian masyarakat, dan kalangan industri terhadap upaya pelestarian lingkungan. Serta kendala ekonomi, sosial budaya dan penegakan hukum. Upaya mengatasi sampah memerlukan pendekatan bahkan paradigma baru, berbeda dengan yang selama ini dijalankan," kata Budisatrio dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi IV DPR, Rabu (16/6/2021).

Budisatrio mengatakan Panja Pengelolaan Sampah di Komisi IV DPR sepakat perlu ada sejumlah tindakan untuk membenahi masalah sampah. Mulai dari penyadartahuan (edukasi) pengelolaan sampahyang baik dan benar dimulai dari lingkungan rumah tangga. Selain itu, perlu ada tindakan segera dalam pengelolaan limbah sampah limbah medis yang menumpuk selama pandemi COVID-19.

Budisatrio menambahkan upaya lain yang juga perlu ditempuh adalah pemberdayaan sampah dan limbah sebagai bahan baku industri yang punya nilai tambah.

Daerah tak sanggup

Peneliti manajemen sampah dari Institut Teknologi Bandung, Enri Damanhuri menyebut banyak pemerintah daerah tidak sanggup melayani masalah sampah rumah tangga.

Enri Damanhuri mengutip data Direktorat Perkotaan, Perumahan dan Permukiman dari Bappenas tahun 2018 yang mencatat pada 2016, kemampuan pemerintah mengangkut sampah secara nasional hanya sebesar 36,39 persen. Sedangkan sebanyak 61,93 persen sampah tidak tertangani dengan baik.

Data Bappenas itu juga menyebut, pada 2016, sekitar 51,41 persen sampah dikelola dengan dibakar, 6,78 persen dibuang ke kali hingga ke laut, serta 2,7 persen dibuang sembarangan.

"Untuk data saat ini, menurut penilaian saya pribadi, sepertinya tidak beranjak jauh dari data itu. Karena sampah terus bertambah, seiring pertambahan jumlah penduduk. Jadi kenaikan jumlah sampah yang ditangani, belum seiring dengan kemampuan daerah dan masyarakat untuk mengelola sampah itu. Kalau tidak tertangani dengan baik, tambah lama akan semakin banyak," kata Damanhuri, dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi IV DPR, Rabu (16/6/2021).

Menurut Damanhuri, pemerintah daerah menjadi faktor kunci keberhasilan penanganan sampah.

"Sekarang persoalannya, kemana membuang sampah? Masyarakat bingung. Daerah yang kita tinggali tidak mempunyai sarana dan fasilitas untuk membuang sampah. Pemerintah lalu menganjurkan membuat bank sampah. Tapi bank sampah hanya menerima sampah yang layak dijual. Lalu masyarakat membakar sampah, membuang sampah sembarangan. Padahal itu dilarang," kata Enri Damanhuri.

Penegakan hukum

Penegakan hukum dalam pengelolaan sampah juga menjadi sorotan Sri Bebasari, pemerhati sampah dari Indonesia Solid Waste Association (InSWA).

Sri Bebasari mengatakan Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah berusia 13 tahun. Namun sampai saat ini penerapannya masih rendah. Terutama untuk kalangan industri, yang menurut Sri Bebasari, justru menjadi sumber masalah sampah. Perusahaan tidak dikenai Extended Producer Resposibility/EPR (tanggung jawab lingkungan berkelanjutan).

"Padahal, kalau kita bicara hulu, kita bicara sumber sampah, sumber sampah itu produsen. Sumber sampah itu pabrik. Masyarakat itu konsumen. Misalnya sampah kemasan, sampah plastik, kita harus setopnya di hulu. Hulunya itu produsen. Di beberapa negara, harusnya itu masuk izin produksi. Misalnya, saya mau bikin pabrik kemasan, pabrik botol. Harusnya, saya tidak dapat izin kalau saya tidak punya program after consumer," kata Sri Bebasari dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi IV DPR, Rabu (16/6/2021).

Sri Bebasari juga menyebut banyak aturan dalam Undang-undang Pengelolaan sampah yang tidak jalan. Misalnya larangan tempat pengelolaan sampah terbuka, sampai saat ini hampir semua TPA sampah merupakan tempat terbuka.

Begitu juga perilaku membuang sampah ke kali atau membakar sampah, yang diancam hukuman enam bulan penjara dan denda Rp50 juta, tidak pernah ditegakkan.

Ia menilai saat ini masalah pengelolaan sampah sudah masuk kategori darurat. Ia mengibaratkan seperti penyakit kanker stadium lima dan sudah masuk ruang perawatan intensif (ICU), namun penanganannya masih dengan obat biasa.

"Masalah sampah ini tidak bisa ditangani seperti biasa. Hampir semua TPA itu sudah bom waktu. Kenapa, karena perencanaan kota di sebagian besar Indonesia itu dari dulu seperti membangun rumah tanpa WC. Seperti DKI, WC-nya ada di Bekasi. Jarak TPA-nya 40 kilometer. Kalau kita masih menangani secara business as usual, ya seperti ini. Sudah masuk ICU, tapi anggarannya masih beli vitamin. DKI saja sampahnya sudah 8 ribu ton perhari," kata Sri Bebasari.

Yang memprihatinkan, kata Sri, sampah yang dibuang masyarakat ke kali sudah sampai ke laut dan menyebabkan ikan-ikan mati.

"Sampai akhirnya sampah ke laut. Ini kecelakaan besar, sudah kriminal, sampai ikan pun mati. Artinya, something wrong di darat. Kalau sampah sudah ke laut, itu sudah kriminal," kata Sri Bebasari.

Prinsip keadilan

Sementara itu, pegiat perusahaan wirausaha sampah Waste for Change, Ridho Malik menilai masalah sampah terjadi karena anggaran pemerintah untuk mengelola sampah sangat minim. Menurutnya, anggaran daerah untuk pengelolaan sampah rata-rata hanya 0,07 persen dari total APBD.

Di sisi lain, pemerintah seolah menjadi satu-satunya pihak yang harus mengurusi sampah yang mestinya menjadi tanggung jawab bersama. Ia menyinggung prinsip keadilan pollutant pays principles, yaitu pihak pembuat atau produsen sampah juga harus ikut bertanggung jawab.

"Prinsip ini dipakai di beberapa negara, intinya, yang menghasilkan sampah lah yang paling bertanggung jawab. Dengan seperti ini, maka hitung-hitungannya maka gap yang dari APBD itu bisa tercapai. Dari turunan ini, akan turun peraturan soal Extended Producer Resposibility (EPR), aturan retribusi yang lebih baik. Bagaimana kita bisa mengelola sampah dengan baik, kalau orang bayarnya masih enam ribu rupiah," kata Ridho Malik saat dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi IV DPR, Rabu (16/6/2021).

Ridho Malik juga menyarankan agar pemerintah cukup menjadi regulator, sedangkan operator pengelola sampah diserahkan ke pihak ketiga. 

Ridho mengatakan pemahaman bahwa masalah sampah adalah masalah pelayanan publik dari pemerintah harus diubah, menjadi penanganan bersama, termasuk bagi para penyumbang sampah.

"Sekarang, prinsip lingkungan, pengelolaan sampah kita itu, adalah pelayanan publik. Pelayanan dasar. Masyarakat dan kita semua, masalah lingkungan masalah sampah itu pelayanan. Yang bertanggung jawab pemerintah. Kalau ada masalah, pemerintah. Padahal yang buang-buang sampah itu, bukan pemerintah saja," kata Ridho Malik.

Editor: Rony Sitanggang

  • DPR
  • sampah
  • limbah
  • lingkungan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!