BERITA

Komisi Yudisial Akan Dalami Hakim Pemberi "Diskon Vonis" untuk Jaksa Pinangki

Komisi Yudisial Akan Dalami Hakim Pemberi "Diskon Vonis" untuk Jaksa Pinangki

KBR, Jakarta - Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memvonis ringan Pinangki Sirna Malasari, jaksa yang terlibat kasus suap dan membantu buronan Djoko Soegiarto Tjandra.

Pada Februari lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Jaksa Pinangki dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan. Hukuman itu jauh lebih berat dibanding tuntutan 4 tahun penjara yang diajukan jaksa penuntut umum.

Hakim menyebut jaksa Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana, yaitu menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra, terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali.

Hakim juga menyatakan Pinangki terbukti melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp5,2 miliar. Uang itu bagian dari uang suap dari Djoko Tjandra.

Pinangki lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI, dan hukumannya dikorting menjadi hanya 4 tahun penjara.

Setidaknya ada lima alasan hakim memperingan hukuman Pinangki itu, salah satunya karena ia seorang ibu, bagi anaknya yang masih balita. Sampai saat ini Pinangki masih belum dipecat dari Kejaksaan Agung. 

Keputusan itu menuai banyak pertanyaan lantaran beberapa pihak berpendapat, ada permainan dalam kasus tersebut. Alasan yang digunakan hakim dianggap tidak masuk akal dan terkesan mengada-ada.

Komisi Yudisial (KY) pun berencana mendalami putusan hakim itu. Juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting mengatakan KY akan mengumpulkan berbagai informasi dan keterangan terkait kasus itu. Namun, ia juga berharap masyarakat turut aktif memberikan keterangan atau informasi pendukung ke KY.

"Komisi Yudisial ini tidak dapat bertindak kalau basisnya benar atau tidaknya suatu putusan, tepat atau tidaknya suatu putusan. Komisi Yudisial baru dapat bertindak apabila ada dugaan-dugaan pelanggaran perilaku hakim. Ini perlu proses yang cukup cermat dan hati-hati. Kita tidak bisa serta merta mengatakan hakim melanggar pedoman perilaku, misalnya. Kalaupun ada pelanggaran perilaku maka kita harus juga menyelenggarakan proses yang lebih cermat. Memanggil terlapor, memanggil pelapor, mengumpulkan bukti bukti," kata Miko Ginting kepada KBR, Rabu (16/6/2021).

Miko Ginting menjelaskan posisi Komisi Yudisial adalah menjaga dan menegakkan kehormatan hakim. Komisi Yudisial tidak bisa masuk ke dalam apa yang jadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara.

"Itu merupakan teknis yudisial yang merupakan domain upaya hukum. Sekali lagi Komisi Yudisial tidak berwenang untuk menyatakan bahwa suatu putusan itu benar atau tidak, tepat atau tidak," kata Miko Ginting.

Ia menjelaskan, seorang hakim baru bisa dinyatakan melanggar etik atau berperilaku tidak baik jika melanggar 10 butir aturan perilaku yang merupakan implementasi dari Kode Etik dan Kode Perilaku Hakim.

"Kalau misalnya ada hakim yang diduga melakukan pelanggaran perilaku, maka kita sesudah bicara dan memutus, kita akan mengirimkan rekomendasi ke Mahkamah Agung. Karena pembinaan kepegawaian dan personal itu ada di Mahkamah Agung. Nanti di sana ada Majelis Kehormatan Hakim," kata Miko Ginting.

Editor: Agus Luqman

  • Jaksa Pinangki
  • Kejaksaan Agung
  • Djoko Tjandra
  • BLBI
  • Bank Bali

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!