Dokumentasi kegiatan Mahasiswa Bergerak (Mager) Salatiga sebelum pandemi, yang diputar di puncak aca

BERITA

Indahnya Keberagaman di Kota Paling Toleran, Salatiga

Selasa 29 Jun 2021, 20.12 WIB

Dokumentasi kegiatan Mahasiswa Bergerak (Mager) Salatiga sebelum pandemi, yang diputar di puncak acara Gema Festival, Januari 2021. Foto: dok Mager Salatiga

Pengantar:

Salatiga dinobatkan sebagai kota paling toleran di Indonesia oleh Setara Institute pada 2020. Kota ini pun punya komunitas muda yang serius mendorong keberagaman di kota mereka, misalnya lewat festival Beauty in Diversity. Seperti apa keberagaman dirasakan dan dijalankan di sana? Jurnalis KBR Ken Fitriani menyusun kisahnya.

KBR, Salatiga - Dari layar laptop, Rona Mentari terlihat bersemangat mendongeng sambil menenteng gitar kecil. Ia tetap fasih bercerita meski tak bisa berinteraksi langsung dengan ratusan anak yang mendengarkan.

Inilah puncak acara Gema Festival dari komunitas Mahasiswa Bergerak, alias Mager Salatiga, akhir Januari 2021 lalu. Judul acaranya, Beauty in Diversity.

Dokumentasi kegiatan Mahasiswa Bergerak (Mager) Salatiga sebelum pandemi, yang diputar di puncak aca

Pendongeng muda, Rona Mentari di puncak acara Gema Festival, Januari 2021. (Foto: dok Mager Salatiga)

Founder komunitas Mager Salatiga, Mega Herawati mengatakan, Covid membuat acara digelar online.

"Ini sebenarnya festival virtual sebagai pengganti acara-acara yang biasanya kita lakukan. Kegiatan tersebut untuk memperluas jangkauan kita, tidak hanya dari satu desa lain di Salatiga sekitarnya saja. Tapi menanamkan nilai karakter termasuk toleransi itu bisa meluas di Indonesia," kata Mega.

Ada 180 anak muda Salatiga yang terlibat di sini – jadi relawan atau panitia.

Pesertanya adalah anak-anak dari belasan desa di Salatiga. Desa-desa ini sudah didampingi Komunitas Mager sejak 2018.

"Komunitas kami yang tergabung dalam Project Mager bergerak dan berkeliling dari satu desa ke desa lain di Salatiga dan sekitarnya untuk melakukan tiga hal, game edukatif, kelas kreatif dan dongeng untuk mengajarkan atau menularkan nilai- nilai toleransi dan karakter," ujar Mega.

Dokumentasi kegiatan Mahasiswa Bergerak (Mager) Salatiga sebelum pandemi, yang diputar di puncak aca

Founder komunitas Mahasiswa Bergerak (Mager) Salatiga, Mega Herawati. (Foto: KBR/Frista Zeuny)

Komunitas Mager Salatiga dibentuk untuk mendorong kontribusi mahasiswa dalam membangun pendidikan anak di daerahnya sendiri. Nilai keberagaman dan toleransi diperkenalkan melalui berbagai kegiatan. Ini berangkat dari keprihatinan terhadap banyaknya kasus kekerasan berlatar agama.

"Seperti pengeboman gereja dan pembubaran kegiatan keagamaan. Jadi kasus-kasus intoleransi itu membuat kami tergerak menanamkan nilai-nilai toleransi. Dan yang paling efektif juga tentunya menanamkan nilai toleransi sejak dini," imbuhnya.

Mega dan rekan-rekannya juga ingin mengenalkan Salatiga sebagai Kota Paling Toleran di Indonesia pada 2020 versi Setara Institute.

“Sehingga bisa menular ke kota-kota lain juga. Aku punya teman dari Yogyakarta, karena adanya kegiatan ini mereka tanya sama aku, 'lho memangnya ada ya predikat kota paling toleran?' Jadi yang awalnya tidak tahu, jadi tahu. Dan yang sudah tahu menjadi mencari tahu lebih,” kisah Mega.

Salatiga layak diganjar predikat Kota Paling Toleran, kata Adinda Larasati, mahasiswa muslim yang kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana. Sejak kecil, ia menyaksikan sendiri kerukunan antarumat beragama di kotanya.

“Saya sempat mengalami punya rumah di sebelah gereja dan sebelah masjid juga. Ketika hari Minggu mereka beribadah pagi dari jam 6, kami yang muslim tidak masalah. Sebaliknya ketika saya punya tetangga non-muslim dan masjid sedang menyelenggarakan pengajian, mereka juga tidak masalah. Bahkan kita saling menyapa, mau ke gereja ya? Mau ke masjid ya? Selamat beribadah, gitu, “ tutur Dinda.

Dokumentasi kegiatan Mahasiswa Bergerak (Mager) Salatiga sebelum pandemi, yang diputar di puncak aca

Adinda Larasati, mahasiswi Universitas Kristen Satya Wacana dan anggota Mager Salatiga. (Foto: KBR/Frista Zeuny)

Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) berdekatan dengan Masjid Besar Salatiga. Kedekatan lokasi ini juga menggambarkan dua agama itu mampu hidup berdampingan. Pendeta GKJTU, Daniel Herry Iswanto berharap Salatiga mampu mempertahankan predikat kota paling toleran.

“Kami tentu bersyukur, bangga dan juga merasa tertantang untuk bagaimana tetap mempertahankan. Tentu itu bukan tujuan utama tetapi karena sempat nomor satu ini, kita harus betul-betul menjaga dalam praktik kehidupan nyata. Salatiga ini unik, karena di sini miniatur Indonesia di mana masyarakatnya sangat heterogen," ujar Daniel.

Tokoh masyarakat dan tokoh lintas iman di Salatiga membentuk beberapa forum komunikasi. Hal serupa juga dilakukan kelompok pemuda.

“Jadi kami punya komunitas grup para pendeta dan kiai. Pada akhirnya tidak hanya Islam dan Kristen, tapi juga Budha dan Hindu. Semuanya ada di situ. Mereka juga menghidupkan Sobat Muda yang isinya orang muda termasuk anak-anak,“ terang Daniel.

Dokumentasi kegiatan Mahasiswa Bergerak (Mager) Salatiga sebelum pandemi, yang diputar di puncak aca

Pendeta Gereja Kristen Jawa Tengah Utara, Daniel Herry Iswanto. (Foto: KBR/Frista Zeuny)

Pemerintah Kota Salatiga menjaga kerukunan dengan memberikan hak dan ruang yang sama bagi semua agama. Lapangan Pancasila sebagai Pusat Kota Salatiga, menjadi simbol toleransi dan keberagaman. Di sana, kata Wali Kota Salatiga, Yuliyanto, hari raya keagamaan diperingati secara terbuka.

“Tempat ini, rumah dinas ini, rumah untuk masyarakat. Semua masyarakat bisa pakai di sini dengan panggung di sana, kita tata kursi di sini. Forkopimda dan tokoh masyarakat duduk di sini menyaksikan. Masyarakat juga boleh duduk di sepanjang rumah dinas ini” kata Yuliyanto.

Saban pekan digelar Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Mereka membahas berbagai persoalan di masyarakat, salah satunya tentang upaya merawat toleransi di Salatiga. Kelompok anak muda juga aktif dilibatkan dalam upaya tersebut.

”Anak muda ini adalah unsur kedua setelah para sesepuh yang peduli terhadap kerukunan dan toleransi. Mereka mewakili beberapa unsur agama,“ lanjut Yuliyanto.

Dokumentasi kegiatan Mahasiswa Bergerak (Mager) Salatiga sebelum pandemi, yang diputar di puncak aca

Wali Kota Salatiga, Yuliyanto. (Foto: KBR/Frista Zeuny)

Anak-anak muda di komunitas Mahasiswa Bergerak Salatiga makin bersemangat dengan dukungan penuh dari Pemkot. Founder komunitas Mager Salatiga, Mega Herawati berharap makin banyak anak muda ikut menjadi agen perdamaian.

"Kami ingin ada inovasi-inovasi baru untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi atau karakter yang tidak hanya disebarkan di Salatiga tetapi juga di Indonesia,” pungkas Mega.

Penulis: Ken Fitriani 

Editor: Ninik & Citra DP