BERITA

Ini Dia 9 Hakim MK Penyidang Sengketa Pilpres

Ini Dia 9 Hakim MK Penyidang Sengketa Pilpres

KBR, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang pendahuluan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk Capres – Cawapres pada Jumat, (14/6/2019).

Berikut gambaran singkat tentang keunikan pribadi sembilan hakim MK yang bertanggung jawab mengadili serta memutus perkara tersebut.


1. Anwar Usman: Pemain Film Figuran

Anwar Usman memiliki bertahun-tahun pengalaman di Mahkamah Agung (MA) serta Pengadilan Negeri (PN) di berbagai wilayah, dari Lumajang sampai Jakarta.

Dalam situs resmi MK, Anwar mengaku dirinya selalu mencontoh Nabi Muhammad dalam bertugas sebagai hakim.

“Dikisahkan dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW pernah didatangi oleh pimpinan kaum Quraisy untuk meminta perlakuan khusus terhadap anak bangsawan Quraisy yang mencuri. Beliau dengan bijak mengatakan, ‘Demi Allah, jika Fatimah, anakku sendiri mencuri, akan aku potong tangannya’. Artinya, penegakan hukum dan keadilan harus diberlakukan terhadap siapapun tanpa kecuali,” jelas Anwar.

Anwar juga mengaku sebagai pecinta teater, dan pernah terlibat menjadi pemain figuran dalam film Perempuan dalam Pasungan yang meraih Piala Citra tahun 1981.


2. Aswanto: Jadi Hakim MK karena Kasus Akil Mochtar

Aswanto memiliki pengalaman panjang sebagai dosen hukum. Kini ia menyandang gelar profesor sekaligus Guru Besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin.

Aswanto mengaku, ia terdorong mengajukan diri menjadi hakim MK setelah mencuatnya kasus Akil Mochtar, hakim MK yang ditangkap karena terlibat kasus suap.

“Teman-teman mengatakan kalau selama ini kita berteriak-teriak di luar untuk menegakkan keadilan, mungkin sudah waktunya untuk ikut masuk ke dalam sistem. Itu yang membuat saya berpikir, ya sudah, saya coba masuk (MK),” ujarnya dalam situs MK.


3. Arief Hidayat: Pakar Yuridis Romantis

Arief Hidayat memiliki pengalaman sebagai dosen hukum, serta tim asesor akreditasi perguruan tinggi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Arief juga mengaku sebagai pakar yuridis-romantis, pakar dua pendekatan berbeda dalam ilmu hukum.

“Dalam Ilmu Hukum Tata Negara hanya ada pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Orang yang senang dengan dua pendekatan itu membimbing mahasiswa sering kali bertikai dan merasa bagus salah satunya. Bagi saya, keduanya saling melengkapi dan bagus disesuaikan dengan penelitiannya. Maka supaya tidak bertikai, saya menyebut yang terbagus adalah yuridis romantis,” kelakarnya seperti dikutip situs MK.


4. Wahiduddin Adams: Sempat Diragukan Independensinya

Wahiduddin Adams sempat lama berkarier sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja dalam birokrasi. Karena itu, ia mengaku sempat diragukan independensinya oleh Tim ahli Seleksi Hakim MK di DPR.

“Kalau birokrasi, karena relasi hubungan kerja itu banyak dan terbuka, sementara di sini (MK) fokus dan yudikatif. Ya, saya harus membatasi diri,” jelasnya di situs MK.


5. Dewa Gede Palguna: Sempat Gagal Jadi Tentara

Dewa Gede Palguna adalah salah satu hakim MK generasi pertama periode 2003-2008. Saat ini ia kembali terpilih sebagai hakim MK periode 2015 – 2020.

Di situs resmi MK, ia berkisah pernah bercita-cita jadi tentara Angkatan Udara. Namun cita-cita itu kandas. Saat mendaftar di Sekolah Penerbang Pesawat Tempur dulu, Palguna gagal dalam seleksi administrasi.

Ia juga pernah bercita-cita jadi wartawan, namun gagal karena tidak diterima kuliah di jurusan publisistik Universitas Gadjah Mada.

Namun di usia dewasanya ia sempat menduduki jabaran sebagai anggota MPR RI, sempat ikut mengamandemen UUD 1945, serta sempat berstatus sebagai hakim MK termuda pada tahun 2003. Ia juga pernah menjadi pemain figuran dalam film asing berjudul Beyond the Ocean.


6. Suhartoyo: Pernah Dituding Membebaskan Koruptor

Suhartoyo memiliki rekam jejak panjang sebagai hakim PN di berbagai wilayah Indonesia. Tahun 2015 ia juga sempat dituding memberi vonis bebas terhadap Sudjiono Timan, terpidana korupsi PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI).

Namun Suhartoyo menyebut tudingan itu adalah fitnah. “Dewan Etik Mahkamah Agung pun sudah memeriksa paspor saya. Ketika itu saya hanya satu kali terbang ke SIngapura. Saya pun pernah mendengar isu akan dipanggil Komisi Yudisial dan sampai sekarang tidak ada panggilan itu,” jelasnya dalam situs MK.

“Saya percaya ungkapan ‘pertolongan Tuhan itu dekat’ apalagi terhadap orang yang difitnah,” tambahnya.


7. Manahan M. P. Sitompul: Pernah Jadi Petugas Bandara

Sebelum berkarier di bidang hukum, Manahan sempat bekerja sebagai petugas bandara. Dari pekerjaan itulah ia kemudian mengumpulkan uang untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

“Waktu itu saya sadar karier saya hanya akan mencapai Golongan III B bila hanya mengandalkan ijazah SMA dan FSO (Flight Service Officer), maka timbul niat untuk kuliah memperoleh ijazah S1 dan satu-satunya pilihan adalah Fakultas Hukum USU kelas karyawan,” kisahnya di situs MK.

“Dengan pengaturan waktu dan dana yang sangat cermat, akhirnya kuliah S1 diselesaikan juga hingga 1982,” tambahnya.

Sebelum menjadi hakim MK, Manahan telah mengenyam studi hingga jenjang S2, dan sempat memegang jabatan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi di Bangka Belitung.


8. Saldi Isra: Dua Kali Gagal Masuk ITB

Awalnya Saldi Isra hanya punya cita-cita untuk masuk Institut Teknologi Bandung (ITB). Tapi setelah dua kali gagal tes masuk, ia pun berbelok menempuh studi hukum.

Saldi kemudian dikenal sebagai aktivis, penulis, sekaligus dosen hukum. Sebelum jadi hakim MK, ia juga dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.


9. Enny Nurbaningsih: Cinta Hukum Sejak SMA

Enny Nurbaningsih adalah satu-satunya hakim MK perempuan dalam periode 2015 – 2020.

Ia mengaku sudah meminati studi hukum sejak masih duduk di bangku SMA. Ia pun mengejar cita-citanya dengan menempuh studi hukum hingga ke jenjang S3.

Sebelum menjadi hakim MK, Enny aktif sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dan sempat membentuk organisasi Parliament Watch bersama Mahfud MD, Ketua MK periode 2008 – 2013.

 

Editor: Citra Dyah Prastuti

  • sidang MK
  • MK
  • gugatan Pilpres 2019
  • gugatan ke MK
  • Gugatan Pilpres

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!