BERITA

Hapus Sekolah Favorit Lewat Zonasi PPDB, Mungkinkah Terjadi?

"Menurut Mendikbud, prestasi tidak diukur dari asal sekolah, melainkan dari kemampuan anak murid. Tapi, bukankah kemampuan murid juga ditentukan kualitas guru dan fasilitas penunjang lainnya?"

Hapus Sekolah Favorit Lewat Zonasi PPDB, Mungkinkah Terjadi?
Ilustrasi: Standar pendidikan belum merata, mulai dari mutu tenaga pengajar, fasilitas penunjang, hingga infrastruktur ruang kelasnya. (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, ingin menghapus stigma “sekolah favorit” lewat penerapan Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Dalam situs resminya, Mendikbud menjelaskan, "Prestasi itu tidak diukur dari asal sekolah, tetapi masing-masing individu anak yang akan menentukan prestasi dan masa depannya,” ujarnya (14/6/2019). 

Dalam aturan Zonasi PPDB terbaru, sekolah-sekolah di tingkat dasar dan menengah wajib menerima murid lewat jalur Zonasi (minimal 90 persen), jalur Prestasi (maksimal 5 persen), dan jalur Perpindahan Orang Tua/Wali (maksimal 5 persen).

Dengan begitu, kebebasan orang tua murid untuk menyekolahkan anak ke tempat-tempat “favorit” atau “sekolah bagus” yang kebetulan jauh dari rumahnya menjadi sangat terbatas.

Meski demikian, Mendikbud menjelaskan bahwa Zonasi PPDB diterapkan demi mewujudkan pemerataan akses serta keadilan sosial.

"Kita menggunakan zonasi mulai dari penerimaan siswa baru, terutama untuk memberikan akses yang setara, akses yang adil, kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi,” ujar Mendikbud.

“Karena pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi, hak ekslusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah,” tambahnya.


Baca Juga:

72 persen SMA di seluruh Indonesia belum punya laboratorium IPA

1,2 Juta Ruang Kelas Rusak, Program Renovasi Sekolah Meleset dari Target

Daerah 3T Kekurangan Guru, Kemdikbud Siapkan Tentara untuk Mengajar  


Sarana Pendidikan Masih Sangat Timpang

Meski didorong niat baik, dalam praktiknya Zonasi PPDB menuai kritik dari berbagai kalangan, mulai dari orang tua murid, Kepala Sekolah, serta peneliti bidang pendidikan.

Sejak awal diterapkan tahun 2016 sampai sekarang, sejumlah peneliti menilai Zonasi PPDB belum berhasil mewujudkan pemerataan ataupun menghapus stigma “sekolah favorit” yang dicita-citakan.

Penilaian itu salah satunya disampaikan tim peneliti gabungan dari Universitas Muhammadiyah Sukabumi dan Universitas Padjadjaran dalam Jurnal Governansi, April 2019.

Berdasarkan riset di Kota Bandung, Jawa Barat, tahun 2018, mereka menemukan bahwa Zonasi PPDB tidak efektif menghapus persepsi masyarakat tentang “sekolah favorit”.

Pasalnya, belum ada standardisasi pendidikan nasional. Sekolah dengan kualitas guru dan fasilitas penunjang bagus masih sedikit, sementara banyak sekolah lainnya tertinggal.

Hal serupa juga disampaikan peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Kalimantan Timur, Ratih Fenty A. Bintoro. 

Dalam artikel risetnya di Jurnal Riset Pembangunan, 2018, Ratih menyebut penerapan Zonasi PPDB di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, tahun 2017/2018 masih terkendala standar pendidikan yang timpang. 

Ratih menjelaskan, di Samarinda masih ada sekolah-sekolah yang “menumpang” di bangunan milik pihak lain, sehingga para muridnya harus masuk sore.

Ia pun menemukan ada sejumlah masyarakat yang menolak jika anaknya terpaksa bersekolah di situ hanya karena kebijakan zonasi.

Karena itu, Ratih mendorong pemerintah melakukan standarisasi pendidikan di semua wilayah Indonesia, supaya kebijakan Zonasi PPDB bisa berjalan efektif dan memberikan keadilan sosial bagi warga.


Editor: Citra Dyah Prastuti 

  • PPDB
  • Zonasi PPDB
  • pendidikan
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
  • sekolah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!