BERITA

Masukkan Pidana Khusus, Revisi KUHP Menuai Kecaman

Masukkan Pidana Khusus, Revisi KUHP Menuai Kecaman

KBR, Jakarta- Sikap pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM memasukkan tindak pidana khusus ke dalam draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana berbuah kecaman keras dari banyak pihak. Kecaman tersebut bahkan muncul dari tiga lembaga negara, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Badan Narkotika Nasional. Pasalnya, selama ini lembaga-lembaga negara tersebut memiliki acuan peraturan bersifat khusus atau lex specialis berbentuk undang-undang, bukan aturan umum dalam KUHP.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menilai janggal usulan Kemenkumham memasukkan tindak pidana korupsi sebagai satu dari beberapa tindak pidana khusus di draf KUHP. Sebab, hal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.

Laode khawatir, hakim pengadilan tindak pidana korupsi bakal kebingungan memberikan pertimbangan hukum karena ada dua aturan, yaitu KUHP dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebaliknya, kuasa hukum para perampok uang rakyat akan senang karena ruang tafsir terhadap hukum semakin luas.

Kejanggalan lainnya, Laode memandang, draf KUHP memanjakan para koruptor. Pasalnya, ancaman pidana dalam draf KUHP untuk para maling duit rakyat, lebih rendah daripada undang-undang tindak pidana korupsi.


"Ancaman pidana denda dalam revisi KUHP itu menurun. Kalau kita lihat pasal 2 undang-undang tipikor itu adalah minimal Rp200 juta dan maksimum Rp1 miliar. Dalam KUHP itu minimal Rp10 juta," kata Laode dalam sebuah diskusi di kantornya, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (6/6).


Keanehan selanjutnya, Laode mengatakan, Kemenkumham tidak berlaku adil dalam memandang tindak pidana khusus. Itu karena tidak semua tindak pidana khusus masuk ke dalam draf KUHP.


Beberapa tindak pidana khusus yang tidak diusulkan Kemenkumham untuk masuk ke draf KUHP, Laode menyebut, kejahatan terkait perikanan, mineral dan batubara, serta tindak pidana militer.


"Itu harusnya diperlakukan sama," kata dia.


Karena itu, KPK telah mengirimkan surat sebanyak lima kali kepada Presiden Joko Widodo. Surat tersebut berisi keluhan KPK sebagai respon usulan Kemenkumham memasukkan tindak pidana korupsi ke dalam KUHP.


Protes penolakan senada KPK juga muncul dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengungkapkan, muatan beberapa jenis pelanggaran HAM berat dalam draf KUHP akan mengebiri asas penanganan kasus pelanggaran HAM berat.


Sebab, Anam menjelaskan, asas penanganan pelanggaran HAM berat tidak mengenal masa kedaluwarsa. Itu sebabnya, tindak pidana tersebut bersifat khusus sehingga diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sedangkan, KUHP memiliki masa kedaluwarsa. Konsekwensinya, suatu pelanggaran HAM yang terjadi di luar masa kedaluwarsa  tidak bisa diproses hukum.


"Kami gak bisa membayangkan, kalau revisi KUHP ada dengan asas kedaluwarsa  dan asas retroaktif juga tidak diakui, ya wassalam, tidak akan ada penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat," kata Choirul.


Selain itu, Choirul melanjutkan, ada permasalahan asas hukum retroaktif atau berlaku surut. Asas retroaktif berarti, suatu tindak pidana bisa diproses kendati tindakan tersebut terjadi sebelum negara memiliki aturan mengenai hal tersebut. Dalam KUHP, asas retroaktif tidak berlaku.


Choirul juga mengungkapkan, dalam tindak pidana khusus di draf KUHP, ada empat jenis kejahatan luar biasa. Kejahatan-kejahatan itu adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, agresi militer, dan kejahatan perang. Padahal, undang-undang pengadilan HAM hanya mencakup dua dari empat jenis itu.


Itu sebabnya, dia menyebut, akan ada suasana ketidakpastian hukum bila kejahatan luar biasa tetap ada dalam draf KUHP yang Kemenkumham usulkan. Saat ini, draf tersebut masih dalam pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.


Badan Narkotika Nasional turut ambil bagian dalam kritik terhadap usulan Kemenkumham tersebut. Pasalnya, bukan hanya korupsi dan kejahatan luar biasa, tindak pidana narkotika pun masuk dalam bagian tindak pidana khusus di KUHP.


Kepala BNN Heru Winarko memandang, KUHP mengerdilkan upaya pemberantasan narkoba. Pasalnya, KUHP tidak memungkinkan seseorang yang terlibat dalam tindak pidana narkotika, masuk masa rehabilitasi. Sedangkan, dalam kasus tertentu, rehabilitasi diperlukan. Hal tersebut sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


"Hanya di UU Narkotika yang memungkinkan terdakwa masuk ke tempat rehabilitasi. Kalau di KUHP, hanya memasukkan ke penjara," kata dia.


Bukan hanya itu, Heru mengungkapkan, penindakan terhadap kejahatan narkotika membutuhkan komunikasi dengan pihak luar negeri. Pasalnya, peredaran narkotika melibatkan jaringan sampai keluar negeri.


"Kalau penindakan menggunakan UU bersifat umum itu kita akan kesulitan untuk menindak maupun berkolaborasi dengan aparat penegak hukum di luar," kata dia.


Jika penindakan mengacu pada KUHP pun, Heru melanjutkan, penyidik akan kesulitan dalam proses pembuktian. Pasalnya, penyidik hanya bisa menahan seseorang satu kali 24 jam seperti dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang menjadi hukum acara KUHP. Sementara, dalam UU tindak pidana narkotika, penyidik bisa memeriksa seseorang tiga kali 24 jam.

Tapi, Anggota Tim Panja dari pemerintah, Muladi,  berdalih tindak pidana khusus perlu masuk ke dalam KUHP dalam rangka mengonsolidasikan sistem hukum pidana materil. Di dalamnya, Muladi melanjutkan, hanya menyebut kejahatan inti dari suatu tindak pidana khusus. Sementara, aturan detail dari kejahatan tersebut terdapat pada undang-undang khusus yang bersifat hukum formil.

Muladi, mengatakan  ada pasal 729 dalam draf KUHP yang mengatur tentang ketentuan peralihan. Ketentuan peralihan ini menjadi perisai Kemenkumham untuk membela diri atas kritik dari lembaga-lembaga negara lainnya.

"Pasal 729 itu aturan peralihan yang sangat penting. Yang menyatakan bahwa pada saat KUHP berlaku nanti, ketentuan pada bab tindak pidana khusus, tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam undang-undang masing-masing. Tidak akan menganggu KPK," kata Muladi.


Tetapi, Eks Hakim Pengadilan Negeri Asep Iwan Iriawan menilai dalih tersebut tidak masuk akal. Pasalnya, menurut dia, munculnya undang-undang khusus itu karena ada norma hukum yang absen dalam KUHP. Karena itu, bila tindak pidana khusus ada dalam KUHP, maka tidak perlu ada undang-undang khusus.


Asep memandang, pasal 729 dalam draf KUHP itu pun seharusnya tidak ada. Sebab, aturan tersebut bersifat hukum acara atau hukum formil. Sedangkan, KUHP adalah kaidah hukum materil yang mengatur perbuatan seseorang.


"Ini KUHP. KUHP itu kitab hukum materil, mengatur perbuatan. Ini (pasal 729) mengatur kewenangan, mengatur hukum acara, (harusnya) ada di kaidah formal, di KUHAP," kata dia.


Asep mendesak Kemenkumham menghilangkan tindak pidana khusus dalam draf KUHP. Menurutnya, hal tersebut memungkinkan. Sebab sebelumnya, tindak pidana terorisme masuk ke dalam draf KUHP. Tapi kemudian tindak pidana tersebut dihapus.


Senada disampaikan LSM Anti Korupsi ICW yang  menganggap Pemerintah dan DPR hanya mencari alasan saja untuk mematikan KPK pelan-pelan dengan revisi Undang-Undang KUHP.

Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo mengatakan, jika revisi Undang-undang itu disahkan, maka DPR dan Pemerintah harus melakukan penyesuaian Undang-undang KPK terhadap UU KUHP. Jika proses itu berlangsung lama, maka, pemberantasan korupsi bakal menggunakan UU KUHP yang tidak mengatur KPK dan Pengadilan Tipikor sebagai lembaga yang berwenang tangani masalah korupsi.

"Kalau pemerintah dan DPR terlambat menyesuaikan sebagaimana yang diatur dalam pasal peralihan di RUU KUHP , maka kita kemudian kita memiliki dua UU yang mengatur Korupsi. Satu di KUHP satu lagi di UU 31 tahun 99 (UU Tipikor). Pertanyaannya mana yang harus dijadikan rujukan, nah ketika yang dijadikan rujuan KUHP maka kemudian konsekuensinya dua institusi yang penting dalam pemberantasan korupsi juga jadi kehilangan pijakannya. KPK dan Pengadilan Tipikor," ucapnya.

Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo menambahkan, arah Pemerintah dan DPR yang ingin mengembalikan penanganan semua tindak pidana ke Polisi dan Kejaksaan semakin terasa. Padahal kata dia, kedua institusi itu memiliki nilai rendah dalam hal kepercayaan publik dan harus diperbaiki struktur organisasinya.

Menanggapi polemik itu,  Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung meminta Kementerian Hukum dan HAM, DPR, dan KPK harus duduk bersama untuk mencari solusi tarik-menarik masuknya pasal pidana korupsi ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP).  Pramono mengusulkan ada pasal tambahan untuk menengahi perdebatan tersebut.

"Kan kita bisa masukkan salah satu pasal dalam rancangan undang-undang itu mengenai apa yang jadi tanggungjawab dan kewenangan KPK yang tidak boleh kita kurangi tadi," kata Pramono di kantornya, Rabu (6/6).


Bekas wakil ketua DPR itu menegaskan Presiden Joko Widodo tidak ingin kewenangan KPK dipangkas. Kata dia, KPK harus tetap jadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia.


"Dalam kewenangan seperti ini saja, tipikornya hari ke hari kita baca, kita lihat, masih banyak. Sikap presiden dan wakil presiden, KPK tidak boleh dikurang kewenangannya dalam bentuk apapun."


Dalam draf terakhir, empat pasal yang sudah diatur dalam UU Tipikor diadopsi ulang dalam RKUHP. Hanya saja, beberapa ketentuan yang diatur justru lebih ringan. Ancaman pidana minimum untuk tindakan memperkaya diri sendiri diatur dari 4 tahun penjara di UU Tipikor menjadi 2 tahun penjara dalam RKUHP. Selain itu, ancaman pidana mati maupun seumur hidup pun dihilangkan. Pidana denda yang diadopsi dari Pasal 3 UU Tipikor dipangkas dari maksimal Rp 1 miliar menjadi Rp 150 juta.


Editor: Rony Sitanggang 

  • revisi KUHP
  • pasal korupsi di revisi KUHP
  • Pramono Anung
  • Laode Muhammad Syarif

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!