BERITA

Pengamat Pajak: Kapan Pemerintah Terbitkan UU Pajak Bisnis Digital?

Pengamat Pajak: Kapan Pemerintah Terbitkan UU Pajak Bisnis Digital?

KBR, Jakarta - Ahli perpajakan dari Universitas Indonesia Prof Haula Rosdiana menyarankan pemerintah segera mengeluarkan undang-undang pajak khusus yang mengatur pajak bagi bisnis digital.

Haula Rosdiana, yang merupakan guru besar pajak perempuan pertama di Indonesia itu menilai senjata hukum yang digunakan saat ini masih lemah bagi pemerintah untuk mewajibkan para penyedia aplikasi atau konten internet membayar pajak.


Rosdiana mencontohkan kasus negoiasi pajak antara pemerintah dengan perusahaan Google. Dalam proses negosiasi dengan Google, pemerintah baru mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Pajak yang mewajibkan seluruh penyedia aplikasi atau konten internet memiliki Badan Usaha Tetap (BUT).


Hanya saja, kata Haula Rosdiana, Surat Edaran Dirjen Pajak itu belum cukup kuat untuk menjadi dasar penarikan pajak bagi penyedia konten digital.


"Jadi perlu ada terobosan kebijakan. Tidak bisa hanya melihat teori klasik. Kalau tidak ada aturan pajak khusus maka negara tidak bisa berbuat apa-apa. Apa akan dibiarkan saja ketidakadilan ini? Makanya saya dorong tidak bisa hanya melalui surat edaran," kata Haula di Jakarta, Kamis (15/6/2017).


Aturan kewajiban pembentukan BUT, kata Rosdiana, juga masih rancu. Di satu sisi Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) yang memuat ketentuan BUT masih membatasi definisi BUT pada keberadaan fisik perusahaan. Sementara pada bisnis digital, rata-rata perusahaan tidak berada di Indonesia.


"Mau Undang-undang Pajak atau tax treaty yang kita punya, itu tidak clear menyebutkan dia harus jadi BUT. Tapi kalau dibiarkan, ada ketidakadilan," kata Rosdiana.


Kepala Subdit Manajemen Transformasi Dirjen Pajak Heru Utomo mengakui pentingnya undang-undang khusus bisnis digital. Heru mengatakan pemerintah saat ini tengah mengkaji pembentukan undang-undang pajak khusus bagi bisnis digital. Masalah ini juga dihadapi oleh banyak negara lain selain Indonesia. Bahkan, kata Heru, tax treaty atau perjanjian pajak Indonesia dengan negara lain yang telah ditandatangani pun tidak bisa menyentuh sektor itu.


"Perwakilan yang ada di Indonesia biasanya hanya melakukan pemasaran. Customer membayar iklannya ke OTT di luar negeri. Jadi mereka sering berkilah, kami di sini tidak beroperasi sebanyak itu," kata Heru Utomo. OTT adalah layanan over the top berupa layanan konten data, informasi atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet.


Pemerintah, kata Heru, sudah mempelajari bagaimana langkah yang diambil negara lain untuk menghadapi permasalahan tersebut. Dia menyoroti bagaimana Inggris dan Australia memberlakukan jenis pajak baru dengan tarif lebih tinggi.


Mereka berencana memberlakukan hal yang sama untuk Indonesia. Namun ia menegaskan hal itu masih perlu pengkajian lebih dalam.


Heru mengatakan pemerintah ingin bisa menertibkan pembayaran pajak bisnis digital tanpa mematikan potensinya. Sebab berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, potensi bisnis e-commerce di Indonesia sangat tinggi.


Sejak 2013, industri e-commerce terus bertumbuh. Data terakihr tahun 2016, nilai transaksi penjualan iklan digital mencapai US$ 1,2 miliar.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • pajak google
  • google indonesia
  • bisnis digital
  • Ekonomi digital
  • pajak digital

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!