BERITA

Vonis Rendah, Keluarga Salim Kancil Akan Mengadu ke Jokowi

""Keluarga sangat terpukul Bu Tijah dan anaknya Ikke itu menangis waktu di PN mendengar putusan,""

Yudi Rachman, Wydia Angga

Vonis Rendah, Keluarga Salim Kancil Akan Mengadu ke Jokowi
Terdakwa pembunuhan aktivis tambang pasir Lumajang Salim Kancil dan penganiayaan Tosan, Kepala Desa Selok Awar-Awar Hariyono (kanan) dan Mad Dasir (kedua kanan) saat akan mengikuti sidang putusan d

KBR, Jakarta- Keluarga Salim Kancil memprotes putusan vonis hakim PN Surabaya yang rendah terhadap pelaku pembunuhan Salim Kancil. Menurut pendamping keluarga Salim Kancil, Gus Aak, istri dan anak Salim Kancil sangat terpukul dengan vonis  hakim kurungan 20 tahun penjara, sedangkan tuntutan jaksa seumur hidup.

Tim advokasi tengah  merancang upaya mengadu kepada Presiden Joko Widodo

"Itu baru beberapa gagasan saja dan spontan saja. Kita akan konkritkan tidak tahu kapan, teman-teman tim advokasi sedang berkumpul di kantor Walhi Jawa Timur. Keluarga sangat terpukul Bu Tijah dan anaknya Ikke itu menangis waktu di PN mendengar putusan," jelas Pendamping keluarga Gus Aak kepada KBR, Kamis (23/6).

Pendamping keluarga Salim Kancil Gus Aak menambahkan, keluarga mendesak jaksa penuntut untuk banding dengan putusan hakim yang rendah. Kata dia, seharusnya majelis hakim memberikan hukuman maksimal terhadap otak pembunuhan tersebut.

"Keluarga berharap "utang beras bayar beras". Keluarga mendesak jaksa untuk banding. Sekarang ini kewenangannya ada di jaksa. Kita mendorong upaya banding," ujarnya.


Kecaman juga datang dari Aktivis antitambang, Tosan yang juga jadi korban penganiayaan. Dia mempertanyakan vonis hakim yang   terlalu rendah bagi pelaku pembunuh rekan seperjuangannya, Salim Kancil.


"Masak hakim saja ndak bisa memutuskan, cuma diputus 20 tahun. Pantas apa tidak bagi orang pengkianat negara? Padahal ini sudah mencoreng nama pemerintahan Indonesia. Kenapa saya ngomong gitu? Masalahnya Salim Kancil diperlakukan dibunuh, disetrum di balai desa. Ini mencoreng nama pemerintahan Indonesia. Wajibnya kayak hakim, sudah tuntut kalau bisa pancung saja sudah," ujar Tosan kepada KBR, Kamis (23/6/2016)


Tosan mengaku tak gentar untuk terus melanjutkan perjuangannya memberangus pertambangan di daerahnya.


"Tetap menghadang, dalam arti perusahaan. Tidak ada istilahnya izin, siapa yang mengeluarkan izin. Kalau ada yang mengeluarkan izin suruh ke rumah! IUP ada, Izin Usaha Pertambangan tapi wilayahnya dimana yang mau ditambang? Apa oleh warga mau dibolehkan? (target untuk berjuang?) Target sampai titik darah penghabisan," kata Tosan.


Ia bahkan mengaku masih menerima ancaman hingga saat ini. Meski begitu, ia tak akan berhenti menegur para pelaku pertambangan yang dinilainya merusak bumi.


"(Sampai sekarang masih ada ancaman?) Tempo hari ada yang mau masuk ke rumah, kakinya sudah masuk satu, satunya masih di luar, saya kejar dia. Itu kan ada pelaku yang belum ditangkap, ntar, saya sudah beritahu ke polisi. Tapi jangan salahkan saya nanti kalau saya lapor ke Kapolda, Mabes. Orang masuk rumah, jendela saya kan tidak ada kacanya. Tapi ndak papa. Pokoknya saya ndak punya musuh, saya cuma mengingatkan jangan dirusak bumi negara ini. (tapi siapa yang masuk dan mau apa sudah tahu?) Itu kan masuknya jam satu malam, untuk apa kalau tidak mau mencelakai saya," pungkasnya.


Hari ini dua pelaku utama pembunuh aktivis penolak tambang pasir ilegal di Pantai Watu Pecak di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Salim Kancil yakni Hariyono dan Mat Dasir, divonis hakim hukuman 20 tahun penjara, jauh dari tuntutan jaksa yakni hukuman seumur hidup.   Kepala Desa Selok Awar-awar di kota Lumajang, Jatim, Hariyono dan Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) setempat, Mat Dasir dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan secara berencana.


Editor: Rony Sitanggang

  • Pembunuhan Salim Kancil
  • pendamping keluarga Salim Kancil
  • Gus Aak

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!