BERITA

Peraih Equator Prize 2015 Terancam Demi Lahan Adat

"Pejuang lingkungan asal Muara Tae, Petrus Asuy mengaku terancam setelah dirinya menolak hadir dalam mediasi terkait ganti rugi lahan PT Borneo Surya Mining Jaya (PTBSMJ)."

Wydia Angga

Penerima Equator Prize, Petrus Asuy.
Penerima Equator Prize, Petrus Asuy.

KBR, Jakarta - Pejuang lingkungan asal Muara Tae, Petrus Asuy mengaku terancam setelah dirinya menolak hadir dalam mediasi terkait ganti rugi lahan bagi PT Borneo Surya Mining Jaya (PTBSMJ). 

Ia mendapat undangan mediasi dari Kepala Polsek Jempang pada Jumat (24/6/2016) namun menolak hadir untuk penandatanganan dokumen verifikasi lahan yang nantinya akan menjadi dasar pembayaran ganti rugi lahan untuk perkebunan sawit PT BSMJ. 

Hari berikutnya pasca mediasi, rumahnya disambangi orang tak dikenal tengah malam. Orang itu kabur karena gonggongan anjing dan teriakannya.

"Jadi bentuk pengancaman ini kita tidak tahu orangnya tapi yang jelas manusia yang datang lewat jam, tapi pada intinya siang hari itu ada mediasi tentang lahan, saya tidak hadir karena mengingat persoalannya tingkat level nasional. Jadi bisa saya hadir tapi harus ada pendamping, kan kemarin sudah tingkat Komnas HAM. Masa kita tidak hargai belum ada putusan dari sana, kita potong lagi di desa kan nggak mungkin. kita hargai juga pertemuan-pertemuan yang sudah jalan," ujar Petrus kepada KBR (26/6/2016) 

Petrus menjelaskan, alasannya menolak menandatangani dokumen verifikasi karena melihat beberapa data yang menurutnya tidak sesuai dengan fakta. Namun Petrus merasa bahaya makin mengancam diri dan keluarganya yang tinggal di sebuah ladang, jauh dari masyarakat sekitar. Ia pun telah melapor kejadian yang telah menimpanya kepada Polres Kutai Barat.  

"Mediasi tentang lahan di PT Borneo Surya Mining Jaya, karena ada kelompok warga yang menuntut perusahaan untuk membayar lahannya tapi, kata perusahaan harus ada tanda tangan Pak Petrus Asuy dengan Masrani. Kalau tidak ada mereka tidak mau bayar. Oleh sebab itu kelompok warga tersebut sangat marah kenapa saya tidak hadir di Polsek. Lahan itu seluas 177,45 hektar sedangkan kita lihat di dalam catatan lahan itu banyak anak kecil yang tidak pernah ngelola lahan tapi dibuat ada lahan. Nah itu sudah tidak benar. Kenapa harus kita membenarkan hal-hal yang tidak benar, itu buat masalah lagi," tegasnya. 

Petrus merupakan peraih Equator Prize 2015 yang khusus diberikan badan milik Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNDP, kepada 20 tokoh dunia yang dinilai berjasa besar memerangi kemiskinan, melindungi alam dan memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim. Sejak tahun 1999, ia bersama kelompoknya mempertahankan wilayah adat dari penguasaan industri sawit.  

"Saya kan peduli mengurus masalah lingkungan di Muara Tae, saya menyelamat sisa-sisa hutan di sana, melindungi hak-hak, sumber daya alam yang tersisa. Kelompok saya banyak. Saya ketua kelompok," tuturnya. 

Penjualan lahan di area itu harus atas persetujuan Petrus Asuy karena ada lahan hak waris miliknya di sana. 

"Kelompok kami menolak penjualan tanah adat. Maka perusahaan menggarap tanah adat tanpa persetujuan kami, maka inilah menjadi persoalan besar bagi kita dengan perusahaan. Tapi ada sekelompok masyarakat yang digunakan, yang pro perusahaan ini, yang melanggar, yang membuat data palsu itu, yang menawarkan ke perusahaan," paparnya.

  • pejuang lingkungan
  • muara tae
  • petrus asuy
  • lahan adat

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!