BERITA

Komnas HAM Simpulkan Peristiwa KKA Aceh Pelanggaran HAM Berat

Komnas HAM Simpulkan Peristiwa KKA Aceh Pelanggaran HAM Berat

KBR, Jakarta- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan dugaan pelanggaran HAM berat pada kasus penembakan di Simpang PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara pada 1999 silam. Komisioner Komnas HAM, Muhammad Nur Khoiron menjelaskan, penyelidikan timnya selama hampir satu tahun menyimpulkan bahwa kasus ini memenuhi dua syarat utama dalam Undang-undang No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

"Syarat itu, kalau penyelidikannya terkait kejahatan terhadap kemanusiaan kan ada 2, meluas dan sistematis. Meluasnya apa lalu sistematisnya apa. Nah ini dua-duanya terpenuhi kalau dalam kasus simpang KKA," jelas Nurkhoiron kepada KBR, Rabu (22/6/2016).


Dia  melanjutkan, aspek meluas ditunjukkan dengan adanya korban tewas akibat penembakan sekurang-kurangnya sebanyak 23 orang. Selain itu, terdapat sekitar 30 orang warga sipil korban penganiayaan akibat tindakan aparat negara di Simpang KKA. Peristiwa ini juga secara sistematis diduga kuat dilakukan oleh aparat negara, dalam hal ini tentara.


"Semua saksi memperkuat itu, atas tindakan tentara yang melakukan serangan langsung ke penduduk sipil," imbuh Nurkhoiron.


Berkas penyelidikan setebal hampir satu meter itupun, kata dia, telah diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti.


"Secara administratif saya tidak tahu (kapan diserahkan--Red). Tapi sejak awal Juni tanggal 8 atau 9 itu di sidang paripurna sudah ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat," ungkap Wakil Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM untuk Kasus Simpang KKA, Muhammad Nurkhoiron.


Tak hanya itu, Komnas HAM juga mengajukan hasil penyelidikan kasus ini ke DPR, sebagai pemberitahuan telah merampungkan penyelidikan. Komnas HAM juga meminta dukungan agar kasus ini segera ditindaklanjuti dan dibentuk pengadilan HAM Adhoc.



TNI Enggan Penuhi Panggilan


Proses penyelidikan kasus Simpang KKA ini berlangsung selama hampir satu tahun. Tim yang diketuai Otto Nur Abdullah memintai keterangan sekira 100 saksi dari warga sipil, baik korban maupun keluarga korban serta pejabat sipil yang berwenang.


"Saksi orang yang dulu lari karena terkena berondongan senjata, sampai saksi keluarga korban yang meninggal. Selain itu ada pula, pejabat sipil. Mantan bupati di daerah situ," ungkap Nurkhoiron.


Dari pemeriksaan itu, kata Nurkhoiron, terungkap bahwa peristiwa ini diawali dengan penyisiran tentara ke kampung-kampung untuk mencari salah satu anggotanya yang hilang. Aksi penyisiran ini dinilai melanggar kesepakatan antara tentara dengan warga.


"Padahal sebelumnya sudah ada kesepakatan baik tentara maupun satuan organik bahwa tidak boleh melakukan penyisiran tanpa seizin pati atau pejabat setempat," ceritanya.


"Akhirnya masyarakat secara psikologis kan terprovokasi, kemudian masyarakat berkumpul. Sebetulnya saat itu ada demo, kok ada tentara yang bertindak tidak sesuai dengan kesepakatan," lanjut Nurkhoiron.


Aksi protes atas sikap ingkar tentara tersebut mengundang banyak orang dari berbagai daerah dan, berujung pada penembakan membabi buta oleh aparat TNI. Namun Nurkhoiron mengaku, timnya belum menemukan motif penembakan tersebut.


"Ini yang harus didalami Kejaksaan Agung," katanya.


Pasalnya, tak satupun anggota tentara yang memenuhi panggilan saat akan dimintai keterangan soal kasus ini. Sementara lembaganya, tak memiliki kewenangan melakukan pemanggilan paksa.


"Itu akhirnya kan kami serahkan ke penyidik, karena mandat pemanggilan paksa itu hanya dimiliki penyidik," ujarnya.


Meski begitu, kata Nurkhoiron, korban dan keluarganya bisa sedikit lega setelah berkas penyelidikan ini rampung. Selain karena proses penyelesaian kasus ini perlahan terbuka, korban dan keluarga juga bisa meminta bantuan medis dan psikososial akibat trauma peristiwa berdarah ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).


"Setelah mereka diselidiki, di-BAP kemudian ditetapkan sebagai dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat, otomatis mereka (korban dan keluarga korban--Red) dapat akses minimal ke LPSK ya untuk mendapatkan bantuan medis dan psikososial untuk mendapat trauma-healing dan lain sebagainya," jelasnya.


Tragedi Simpang KKA, yang juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh ini sudah berusia lebih dari 16 tahun. Peristiwa ini berlangsung saat konflik Aceh pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe.


Simpang KKA adalah sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Insiden ini terus diperingati masyarakat setempat setiap tahunnya. Hingga kini, belum ada pelaku yang ditangkap dan diadili.


Editor: Rony Sitanggang

  • KKA Aceh
  • komnas ham
  • Pelanggaran HAM
  • Pelanggaran HAM Aceh
  • Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!