BERITA

Nuklir, Pasang Surut Optimisme dan Kecemasan

"Untuk mendapatkan bahan bakar nuklir, uranium harus diproses dalam beberapa tahap. Sementara, Indonesia juga belum menguasai teknologi pengayaan uranium. "

Ninik Yuniati

Nuklir, Pasang Surut Optimisme dan Kecemasan
Ilustrasi Pembangkit Tenaga Nuklir. Foto: Antara

KBR, Jakarta - Pemerintah serius menapaki opsi eksploitasi energi nuklir. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan kebijakan guna melapangkan jalan pembangunan dan pengoperasian pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. 

"Kita banyak rencana untuk energi nuklir, memang di kebijakan energi nasional juga sudah masuk. Memang di situ masih disebutkan sebagai pilihan terakhir, sementara seluruh sumber yang ada dipergunakan," kata Dadan ketika dihubungi KBR, (8/6/2015). 

Juru bicara Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pihaknya akan berupaya mengubah PP Nomor 97 Tahun 2014 yang menyatakan nuklir merupakan pilihan terakhir. Kata dia, pembiayaan PLTN seluruhnya akan ditanggung oleh negara, sesuai undang-undang.

"Sekarang lagi didiskusikan di pemerintah, supaya itu tidak menjadi terakhir, dilakukan secara bersama-sama. Karena kalau dilakukan terakhir, nanti kita telat, pas butuh, belum selesai," tambahnya.

Terdapat lokasi potensial pembangunan PLTN, di antaranya, di Bangka Belitung, Pegunungan Muria, Jawa Tengah, dan Pontianak, Kalimantan. Pemerintah terlihat optimistis karena rencana ini diklaim mendapat restu dari masyarakat. Kepala Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Yarianto Budi Susilo mengatakan 72 persen masyarakat menyetujui pembangunan PLTN.

"72 persen, saya kira suatu angka yang sudah cukup bagus untuk membuat satu keputusan dari pemerintah untuk segera membangun PLTN," kata Yarianto di sebuah diskusi tentang nuklir di Cikini, (6/6/2015).

Menurut Yarianto, Indonesia akan tertinggal dari negara berkembang lain seperti Bangladesh  dan Nigeria, bila tak segera memulai dari sekarang. "Kita harus menguasai teknologi itu, kalau kita ingin survive, karena energi itu merupakan power of nation. Kalau kita tidak menguasai teknologi, maka kita menjadi bangsa pecundang," lanjut Yarianto.

Kata dia, bila potensi nuklir ini tidak dimaksimalkan, maka pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri tidak akan mencukupi. Sumber lain yakni Energi Baru Terbarukan (EBT), baru bisa memasok 23 persen tahun 2025 dan 35 persen tahun 2050. Karenanya, ia mendukung perubahan perspektif bahwa nuklir merupakan opsi terakhir. "Jadi posisi kalau dianggap yang terakhir adalah seperti anak tiri, padahal punya potensi ke depan," ungkap dia.

Mengenai faktor keamanan, baik Kementerian ESDM dan BATAN, menjamin teknologi yang dimiliki Indonesia sudah memiliki derajat keamanan yang tinggi. Menurut Dadan, kecelakaan nuklir seperti di Fukushima, Jepang tahun 2011 dan pengalaman lain, menjadi pelajaran penting. Karenanya, teknologi BATAN yang telah memasuki generasi keempat telah dijamin keamanannya.


Indonesia Dan Nuklir?

Ambisi dan optimisme pemerintah ini diragukan sejumlah pihak. Rinaldi Dalimi dari Dewan Energi Nasional (DEN) menyangsikan kekuatan jajak pendapat dalam pengambilan keputusan tentang PLTN. Ini lantaran banyak hal yang berubah dalam wacana pemanfaatan nuklir. Selain itu, Rinaldi mengkritik pemerintah karena tidak memberikan informasi komprehensif kepada masyarakat.

"Di (Pegunungan) Muria. Saya datangi kelompok yang mendukung PLTN di Muria. Masyarakat itu menyatakan, kalau PLTN dibangun di sini, tanah kita akan subur, kenapa bisa? Saya tanya, karen BATAN sudah bisa membangun varietas unggul dari teknologi nuklir. Di situ ada mispersepsi bahwa teknologi nuklir, bisa mmbuat varietas unggul, dan bisa mnyuburkan tanah," kata Rinaldi.

Menurut Rinaldi, wacana tentang nuklir sebagai energi yang murah dan bersih, salah kaprah. Kecelakaan nuklir di Fukushima 2011 silam, kerugian yang harus ditanggung mencapai 600 miliar dolar Amerika. Jika dibandingkan dengan anggaran negara republik ini, jumlah tersebut bakal mencaplok lebih dari separoh APBN.

"Fukushima terjadi, biaya yang ditanggung seharusnya oleh perusahaan listrik, sekitar 600 miliar US dolar, 2011, APBN kita waktu itu sekitar 1000 miliar. Jadi lebih dari separuh APBN kita akan disedot oleh kerugian akibat Fukushima, jika terjadi di Indonesia," tutur Rinaldi.

Karenanya, Rinaldi memilih berseberangan pendapat dengan pemerintah. Ia masih bersikukuh, nuklir sebaiknya tetap menjadi pilihan terakhir. Ia juga menentang pembiayaan PLTN dari anggaran negara, tetap seluruh pembiayaan dan risiko ditanggung oleh swasta.

Lebih jauh Rinaldi juga mengkritik BATAN karena telah melampaui kewenangannya. Kata dia, dalam Undang-Undang Ketenaganukliran Tahun 1997 tidak menyebutkan BATAN bertugas membangun PLTN.  ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN) yang berwenang membuat keputusan tentang energi jangka panjang, termasuk nuklir.

"Bahkan dalam peraturan itu dinyatakan, BATAN tidak boleh membangun PLTN yang komersial. Jelas di situ bahwa, ada pergeserannya tugas BATAN, yang seharusnya menyediakan bahan bakar, menggali uranium yang ada di kita, tapi itu tidak dilakukan, justru sekarang, berusaha untuk membuat PLTN," ungkap dia.

Rinaldi mendorong pengoptimalan energi fosil batubara dan juga biofuel seperti CPO. Namun, eskploitasi sumber energi tersebut masih terbatas, terganjal harga yang mahal. Karenanya, dibutuhkan political will dari pemerintah.

"Produksi batubara kita, itu hanya 20 persen dipakai di dalam negeri, 80 persennya diekspor. EBT (Energi Baru Terbarukan), kita dinyatakan oleh dunia, Arab Saudinya biofuel. Kita produsen CPO terbesar di dunia. Semua CPO kita jadikan biofuel bisa menghilangkan impor BBM.  Persoalannya apa sekarang? Mahal. Masalah harga itu harus ada kebijakan dan insentif dari pemerintah," tuturnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa juga mencemaskan antusiasme pemerintah terkait nuklir. Kata dia, mengembangkan nuklir justru menjauhkan dari cita-cita kemandirian energi. Ia lebih mendorong penggunaan energi fosil yang masih banyak tersedia yakni batu bara dan meluaskan energi terbarukan.

"Saya setuju kita harus menguasai teknologi energi, tapi kan tidak hanya PLTN. Setahu saya teknologi (nuklir) ini cukup kompleks, sehingga kalau PLTN, itu kita tidak mandiri energi, karena dari teknologinya kita tidak punya dan kita tidak menguasai," kata Fabby.

Fabby mengakui Indonesia memiliki banyak sumber uranium. Namun, sangat salah apabila menjadikan alasan tersebut sebagai pijakan untuk propembangunan nuklir. Kata dia, untuk mendapatkan bahan bakar nuklir, uranium harus diproses dalam beberapa tahap. Sementara, Indonesia juga belum menguasai teknologi pengayaan uranium.

"Teknologi PLTN itu tidak membuat kita mandiri, karena proses untuk membuat bahan bakar PLTN, itu juga dikontrol dan dikendalikan oleh sejumlah perusahaan," lanjutnya.

Fabby menilai republik ini belum siap memiliki reaktor dan pembangkit nuklir. Banyak celah kegagapan masih menganga di mana-mana. Karenanya, ia meminta pemerintah mengkaji lebih serius tentang wacana pemanfaatan nuklir tersebut. Menurutnya, masyarakat juga harus dilibatkan sepenuhnya dalam pengambilan keputusan. Masyarakat harus diberikan informasi yang tidak menyesatkan dan terang benderang, karena mereka juga yang akan menanggung risikonya. 


Editor: Quinawaty Pasaribu

  • Nuklir
  • Indonesia
  • energi
  • pengamat
  • kecemasan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!