BERITA

Memahami Bhinneka Tunggal Ika, Terbebas dari Konflik Sosial

"Berdasarkan data Indonesia Police Watch (IPW), sepanjang 2013 saja terjadi 153 konflik sosial di Indonesia, baik berupa tawuran, bentrokan massa maupun kerusuhan sosial."

Stefanno Sulaiman

Memahami Bhinneka Tunggal Ika,  Terbebas dari Konflik Sosial
Bhinneka Tunggal Ika. Foto: Antara

KBR, Depok  - Jumlah konflik sosial di Indonesia menunjukkan tren meningkat. Berdasarkan data Indonesia Police Watch (IPW), sepanjang 2013 terjadi 153 konflik sosial di Indonesia, baik berupa tawuran, bentrokan massa maupun kerusuhan sosial yang menewaskan 203. Angka itu naik 23,7 persen dari jumlah konflik tahun 2012.

Pengamat Sosial dari Abdurrahman Center Wahid Universitas Indonesia (AWC-UI), Ahmad Syafiq mengatakan minimnya pemahaman masyarakat soal dasar konstitusi Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika menjadikan Indonesia rentan akan konflik sosial, seperti isu diskriminasi etnis atau agama tertentu.

“Nah untuk membangun supaya tidak mudah muncul konflik harus dididik supaya lebih toleran, lebih menerima bahwa orang itu memang ada perbedaan, lebih memahami. Nah, menurut saya pendidikan ini yang kurang. Sekarang ini orang dikembalikan ke egonya sendiri, pencarian identitas pribadi dengan cara meniadakan identitas orang lain atau kelompok lain, bukan saling menghargai keberadaan,” jelas Syafiq yang juga menjabat sebagai Ketua AWC-UI dalam seminar nasional bertajuk "Meninjau Peta Konflik dan Membangun Budaya Damai dalam Kerangka Penguatan Bhinneka Tunggal Ika Indonesia" yang diadakan oleh Abdurrahman Wahid Centre Universitas Indonesia, Ruang Apung Perpustakaan UI, Depok, Kamis (11/6/2015).

Menurut Syafiq, meski isu etnis atau agama sering dikaitkan dengan konflik sosial yang terjadi, dia menilai semua isu tersebut hanya tameng atas faktor ketimpangan ekonomi. Kata dia, isu agama dan etnis adalah isu yang paling mudah dipicu sehingga sering dipakai oleh kelompok tertentu untuk beraksi.

Pengalaman soal konflik sosial akibat  juga diceritakan oleh Ketua Sinode Gereja Kingmi di Papua, Benny Giay. Kata dia, kedatangan pemerintah ke Papua justru mematikan kebudayaan dan kehidupan masyarakat lokal. Ia memberi contoh pengalamannya ketika gereja-gereja di Papua tidak berani untuk berbicara mengenai realita di Papua, karena khawatir dicap separatis.

“Tahun 1980 sampai 2011 gereja gereja di Papua yang bicara soal kekerasan akan dianggap separatis, jadi kami Gereja tidak ada nyali untuk berdialog. Tidak ada ruang untuk berdialog untuk masalah kami. Tanggal 16 Desember tahun  2011, kami sampaikan apa yang Presiden SBY sebut separatis untuk kami, justru kami sebut itu nasionalisme. Coba lihat sejarah Indonesia, Sukarno dan Hatta dulu juga dianggap separatis menurut Belanda, pemerintah harus terima kenyataan itu,” jelas Benny dalam waktu dan acara yang sama.

Penyadaran akan Bhinneka Tunggal Ika

Menyadari akan banyaknya konflik sosial di Indonesia, Ahmad Syafiq mengatakan masyarakat mulai dari berbagai lini harus menyadari falsafah dari Bhinneka Tunggal Ika.  Dimana, kata dia, sebagai individu, warga negara Indonesia harus menerima perbedaan dan keunikan setiap kaum.

“Tak kenal maka tak sayang, seberapa kenal anda terhadap orang atau kelompok yang berbeda. Kita hanya bergaul dengan diri sendiri saja kelompok sendiri saja. Nah itu yang harus dibongkar terlebih dahulu, sekat-sekatnya itu harus dibongkar,” jelas Syafiq.

Dalam waktu yang sama Tokoh Lintas Iman dan HAM Indonesia, Albertus Patty mengatakan pendidikan kebhinnekaan di Indonesia harus segera diajarkan secara intens. Indonesia harus mencontoh  Australia, Kanada, dan Amerika Serikat dalam hal menyadari keanekaragaman baik etnis maupun agama.

“Australia, Kanada dan AS itu selalu tahu mereka itu pendatang dan setiap warga negara setara. Pemahaman itu menjadi santapan sehari-hari mereka dan negara tahu hak-hak warganya adalah setara. Oleh karena itu mestinya pendidikan seperti itu diterapkan di sekolah-sekolah dan universitas,” jelas Albertus 

Data AWC-UI menyebutkan 3 faktor utama pemicu konflik sosial di Indonesia. Pertama, isu identitas politik-migrasi, seperti yang ada di Aceh dan Papua. Migran yang tidak tertata dan terencana mengakibatkan penyingkiran kelompok tertentu. Kedua, adalah isu agama, keyakinan dan etnis. AWC-UI memberikan contoh kasus GKI Yasmin di Bogor hingga pengusiran kaum Ahmadiyah dan Syiah. Menurut AWC-UI kini terdapat 25 daerah tingkat 1 dan 2 di Indonesia yang memiliki aturan pelarangan terhadap kelompok atau keyakinan tertentu. Terakhir, adalah isu ideologi yang berujung pada terorisme. Dimana, menurut AWC-UI para kelompok radikal ini muncul akibat adanya kesenjangan ekonomi dan peminggiran. Lalu diperparah dengan tindakan represif dari pemerintah menggunakan alasan keamanan, justru menguatkan keberadaan kelompok-kelompok radikal tersebut.

Editor: Malika

 

  • Garuda
  • Pancasila
  • Konflik
  • Sosial
  • Wahid
  • Bhinneka Tunggal Ika
  • toleransi agama
  • Toleransi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!