BERITA

KPAI: Kekerasan Atas Nama Kebutuhan Penyidik Polisi, Biasa Terjadi

"Tindak kekerasan yang mengatasnamakan penyelidikan sering dilakukan aparat penegak hukum, meski sudah jelas tidak dibenarkan oleh hukum. "

Ilustrasi Perlindungan anak. Foto: Antara
Ilustrasi Perlindungan anak. Foto: Antara

KBR, Jakarta- Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni’am Sholeh menilai kasus kekerasan yang dilakukan polisi kepada anak berinsial V berumur 13 tahun di Tuban tersebut sebagai kasus yang biasa terjadi. Menurut dia, tindak kekerasan yang mengatasnamakan untuk kebutuhan penyelidikan sering dilakukan aparat penegak hukum, meski sudah jelas tidak dibenarkan oleh hukum.

“Relasi dengan kepolisian itu cenderung dalam konteks penegakkan hukum dan itu cara-cara klasik tapi di dalam banyak tempat masih digunakan sebagai cara untuk melakukan proses investigasi tentu itu tidak benarkan hukum apalagi itu kepada anak,” jelas Asruron di Gedung KPAI, Jakarta, Selasa (23/6/2015).

Menurut dia aparat kepolisian di dalam hal ini terikat secara praktis dengan peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 terkait implementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaran tugas kepolisian. Kemudian juga terikat kode etik profesi kepolisian yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011.

Selain itu Asruron mengatakan jumlah pengaduan kasus kekerasan anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum memang tidak tinggi. Namun, kata dia, meski kecil hal ini tetap harus diperhatikan secara serius karena sebagai aparat penegak hukum seharusnya memberikan teladan kepada masyarakat.

“Justru ini yang anomali karena seharusnya penegak hukum memberikan teladan di bidang hukum sama dengan logika kalau pejabat KPK korupsi. Tentu meski kecil tapi strategis untuk diberi perhatian khusus,” jelas Asruron.

Terkait penanganan untuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegakkan hukum, Asruron mengakui adanya kekhusuan penanganan. Lantaran, kata dia, institusi seperti Kepolisian identik dengan kekuasaan yang membutuhkan penanganan khusus.

“Tentu ada hal-hal yang terkait dengan aspek kultural dan struktural karena cenderung punya kekuasaan yang bersifat penegakkan hukumsehingga butuh penanganan khusus. Kalau kondisi sosial berbeda tentu intervensinya juga berbeda,” kata Asruron

Kasus tersebut bermula dari penangkapan yang dilakukan polisi karena adanya sebuah laporan dari warga bernama Kurtubi dan Kusein yang mengaku kehilangan sepeda motor, di mana V dikatakan mirip dengan pelaku. Dalam penangkapan tersebut V mengakui dianiaya polisi berinisial NH di Polsek Widang, seperti dipukul, ditodong pistol, mulut dimasuki pistol, ditelanjangi, dada diinjak, dan diancam dibunuh. Padahal, nyatanya V tak terbukti melakukan tindak pencurian tersebut dan dilepas tak lama kemudian.

Selain itu, berdasarkan data dari KPAI, sejak Januari hingga Maret 2015 dicatat sebanyak 45 pengaduan terkait kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak di bawah umur (18 tahun). Sedangkan untuk tahun 2014 KPAI mencatat terdapat 314 pengaduan untuk kasus serupa.

Editor: Dimas Rizky

  • kekerasan terhadap anak
  • kekerasan oleh polisi
  • kekerasan atas nama penyelidikan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!