BERITA

Cegah Perkawinan Anak, Ini Saran DPR

"Menurut Deding, untuk mencegah dampak pernikahan dini, semisal perceraian dan angka kematian ibu, pemerintah bisa membuat terobosan dari setiap kebijakan. "

Eli Kamilah

Cegah Perkawinan Anak, Ini Saran DPR
Seorang anak menaruh bunga saat aksi simpatik di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. ANTARA FOTO

KBR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Sosial DPR, Deding Ishak menyebut legislatif review atau perubahaan UU oleh DPR bukan satu-satunya jalan merevisi UU Perkawinan. Ini menyusul putusan MK yang menyetujui perempuan bisa menikah minimal usia 16 tahun.

Menurut Deding, untuk mencegah dampak pernikahan dini, semisal perceraian dan angka kematian ibu, pemerintah bisa membuat terobosan dari setiap kebijakan. Semisal di Kementerian Kesehatan melalui sosialisasi reproduksi dan pendidikan seks usia dini.


"Kami berharap agar kementerian terkait melakukan langkah terobosan terkait masih banyaknya perkawainan usia dini. UU ini bukan satu-satunya, tetapi ini bisa jadi payung hukum," kata Deding kepada KBR, Senin (22/6/2015).


Sebelumnya, pemohon dari Koalisi Perempuan Indonesia menganggap batas usia anak, khususnya anak perempuan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak sesuai dengan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional lainnya.


Menurut mereka, batas usia 16 telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak, khususnya perempuan. Yang akhirnya dinilai akan merampas hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, mengancam kesehatan reproduksi dan mengancam hak anak atas pendidikan.


Karena itu pemohon menganggap batasan usia perempuan untuk dapat menikah adalah 18 tahun. Namun, MK menolak uji materi tersebut.




Editor: Quinawaty Pasaribu

 

  • UU Perkawinan
  • batas usia menikah 16 tahun
  • Koalisi Perempuan Indonesia
  • Wakil Ketua Komisi Sosial DPR
  • Deding Ishak

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!