KBR, Jakarta – Lembaga pemantau televisi, Remotivi mengeluarkan penelitian terbarunya tentang bagaimana televisi nasional membingkai berita Pemilu di Indonesia. Remotivi menyimpulkan bahwa sejumlah TV nasional di Indonesia dinilai partisan.
Media tidak hanya melakukan eksploitasi dan stereotype namun juga menjadi kepanjangan tangan pemiliknya yang masuk ke dalam partai politik.
Penelitian yang dilakukan pada 11 stasiun TV nasional pada 1-7 Mei 2014 membuktikan bahwa koalisi-koalisi partai yang dibentuk para pemilik TV ini membentuk TV menjadi media partisan.
Di Metro tv misalnya, ketika Partai Nasdem belum berkoalisi dengan PDI Perjuangan, maka Jokowi selalu diberitakan negatif.
Namun ketika Partai Nasdem sudah berkoalisi dengan PDI Perjuangan maka Jokowi diberitakan dengan porsi 74,4%, dengan nada yang positif sebesar 31,3%. Bandingkan dengan rivalnya yakni Prabowo, yang hanya mendapat 12% pemberitaan dengan 16,7% berita bernada negatif di Metro tv.
Sedangkan di TV one, Aburizal bakrie sebagai pemilik TV one yang berkoalisi dengan partai Gerindra, sosok Prabowo diberitakan 2 kali lipat jumlahnya dibandingkan Jokowi di Metro tv, begitu juga Aburizal Bakrie. Sedangkan Jokowi selalu diberitakan negatif di Tv one.
Strategi pembingkaian tersebut juga dilakukan oleh MNC group. Ketika banyak stasiun televisi memberitakan konflik di tubuh Partai Hanura, maka MNC Group tidak menayangkannya.
“Dari hasil penelitian ini, Remotivi menyimpulkan bahwa stasiun televisi di Indonesia menjadi perpanjangan tangan agenda elit. Berita yang ditampilkan hanya untuk kepentingan pemiliknya, padahal frekuensi TV adalah milik publik,” kata Roy Thaniago.
Temuan-temuan di atas juga memperlihatkan bahwa dalam hiruk-pikuk penyiaran politik, publik hanya diposisikan hanya sebagai penonton.
Televisi partisan ini jelas membahayakan demokrasi dan publik yang butuh informasi jernih sebagai alat pengambil keputusan masyarakat.