NASIONAL

Intoleransi di Yogya, JKLPK Indonesia: Negara, Lindungilah Wargamu!

"KBR, Jakarta - Jaringan kerja Lembaga Pelayanan Kristen Indonesia (JKLPK Indonesia) mengecam aksi intoleransi di Kawasan Yogyakarta dalam sebulan terakhir ini. Sebab ada 6 kejadian kekerasan berbumbu intoleransi di sana."

Intoleransi di Yogya, JKLPK Indonesia: Negara, Lindungilah Wargamu!
intoleransi, yogya

KBR, Jakarta - Jaringan kerja Lembaga Pelayanan Kristen Indonesia (JKLPK Indonesia) mengecam aksi intoleransi di Kawasan Yogyakarta dalam sebulan terakhir ini. Sebab ada 6 kejadian kekerasan berbumbu intoleransi di sana.

Kasus kasus itu di antaranya intimidasi dan kekerasan yang dialami oleh Amiludin Azis, Ketua Forum Lintas Iman Gunung Kidul. Dia diserang Front Jihad Indonesia (FJI), 2 Mei 2014. Azis mendapatkan kekerasan berupa caci maki dan pengrusakan mobil di ruang terbuka, berdekatan dengan Gedung DPRD Gunung Kidul.

Lalu, 18 Mei 2014 di Kasihan Bantul, Front Umat Islam (FUI) membubarkan paksa pengajian tersebut dengan alasan pembicara dalam pengajian tersebut adalah penganut Syiah. Selanjutnya, saat akan dilaksanakan Paskah Adiyuswa (Lansia) Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Gunung Kidul, FUI menolak kegiatan tersebut.

Penyerangan dan kekerasan fisik juga terjadi di rumah yang sedang digunakan untuk berdoa Rosario. Pada 29 Mei 2014 kelompok berjubah datang merusak rumah yang beralamat di kompleks perumahan STIE YKPN Nomor 07 Desa Tanjungsari, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melempari batu.

Mereka juga memaksa pembubaran acara doa tersebut. Tidak berhenti di situ, saat pemilik rumah datang, mereka segera melakukan kekerasan sehingga pemilik rumah mengalami luka parah. Perampasan dan kekerasan kepada jurnalis juga dilakukan oleh kelompok berjubah tersebut. 

Terakhir di Hari Kelahiran Pancasila, sekelompok orang melakukan protes atas kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di Panggukan, Sleman. Kelompok tersebut juga menyerang dan melempari bangunan yang digunakan untuk ibadah dengan batu. Dalam kondisi tersebut, aparat penegak hukum tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka membiarkan kekerasan itu terjadi.

"Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kita semua kenal sebagai daerah yang sangat toleran, mampu menampung semua golongan suku, agama dan penganut kepercayaan. Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi barometer kedamaian dan toleransi bagi bangsa Indonesia. Kondisi  ini terkoyak dengan maraknya kekerasan berbasis agama yang terjadi," kata Direktur Eksekutif JKLPK Indonesia, Woro Wahyuningtyas dalam pernyataannya, Sabtu (7/6).

Menurutnya Yogya sudah berpredikat sebagai daerah istimewa yang toleran karena kemajemukan suku, budaya dan agama seakan memudar dan meredup. Agar kejadian tersebut tak terulang, Woro membuat pernyataan tertulis dan akan diserahkan ke Woro Wahyuningtyas.

Berikut tuntatan mereka:

1. Mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang tersebut di atas.

2. Meminta kepada Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan berbasis agama yang ada di Indonesia.

3.  Meminta kepada Polri untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang terjadi dan menyeru kepada Kapolri untuk memberikan pernyataan yang sesuai dengan konstitusi di Indonesia.

4. Meminta representasi negara di Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai dari Gubernur DIY, Bupati Gunung Kidul, Bupati Bantul dan Bupati Sleman untuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga negaranya dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan agama dan keyakinannya.

5. Meminta kepada Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk menggunakan hak keistimewaannya dalam mendorong Kepolisian untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta secara adil, tidak diskriminatif dan tidak intimidatif.

  • intoleransi
  • yogya
  • Toleransi
  • petatoleransi_34Daerah Istimewa Yogyakarta_merah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!