NASIONAL

Tingkat Pengangguran di Indonesia dan Efek Genjot Investasi

""Masalah utamanya di skill antara kebutuhan industri dengan kapasitas lulusan perguruan tinggi dan vokasi Indonesia yang kurang link and match. Tentunya ini akan menjadi masalah kalau dibiarkan.""

Astri Yuanasari

Tingkat Pengangguran di Indonesia dan Efek Genjot Investasi
Pencari kerja mencari lowongan di salah satu bursa tenaga kerja di Jakarta, Selasa (16/5/2023). (Foto: ANTARA/Aditya Pradana)

KBR, Jakarta - Jumlah penduduk Indonesia usia produktif saat ini diperkirakan mencapai 69 persen dari total populasi. Namun, banyak yang belum terserap dunia kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Februari lalu jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,99 juta orang.

Ketua Kamar Dagang dan Industri Kadin Indonesia Arsjad Rasjid sempat menyebut, lulusan universitas masih menjadi kontributor pengangguran terbuka yakni mencapai 8 persen pada Agustus tahun lalu. Begitu juga lulusan sekolah menengah kejuruan menyumbang pengangguran terbuka 9,4 persen.

"Masalah utamanya ada di skill antara kebutuhan industri dengan kapasitas lulusan perguruan tinggi dan vokasi Indonesia yang kurang link and match. Tentunya ini akan menjadi masalah kalau kita biarkan saja," kata Arsjad dalam Rakernas Kadin Bidang Ketenagakerjaan, (7/3/2023).

Ketua KADIN Indonesia Arsjad Rasjid menyatakan KADIN telah menandatangani nota kesepahaman dengan 14 perguruan tinggi untuk membentuk membentuk sumber daya manusia atau SDM berkualitas dan berdaya saing.

Untuk menekan angka pengangguran ini pemerintah mengklaim terus membuka lapangan pekerjaan baru. Meskipun badai PHK terjadi, namun lapangan pekerjaan lain juga tercipta.

Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengatakan, lapangan kerja baru banyak tercipta karena realisasi investasi pada tahun lalu yang mencapai Rp1.207 triliun.

"Jadi kalau ada yang mengatakan kemarin bahwa ada lapangan pekerjaan yang kena PHK sekian. Katakanlah data itu, kalau itu benar. Tapi juga ada lapangan pekerjaan yang kita ciptakan dari sektor Rp1.207 triliun, sebesar 1.300.000. Dan dari sektor UMKM ada kurang lebih sekitar 7 juta. Jadi ada yang pergi, banyak juga yang datang," kata Bahlil dalam konferensi pers, Kamis (16/2/2023).

Baca juga:

Bahlil juga menyebut di luar sektor hulu migas dan sektor keuangan, ada penambahan UMKM sebesar Rp318 triliun. Menurutnya, distribusi lapangan kerja dari sektor UMKM juga masih tinggi.

Pada peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei lalu, Presiden Joko Widodo juga menyatakan bakal terus mengundang para investor ke Tanah Air untuk memperluas lapangan pekerjaan.

"Pemerintah berusaha untuk mengundang investasi dari dalam dan luar negeri dalam rangka menambah kesempatan kerja, mengurangi pengangguran, serta meningkatkan kesejahteraan buruh dan tenaga kerja," ujar Jokowi.

Meski begitu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi, CORE, Mohammad Faisal menilai tingginya realisasi investasi di tahun lalu belum maksimal menekan angka pengangguran di tanah air.

Menurut Faisal, hal ini dikarenakan sebagian besar investasi tahun lalu cenderung menyasar padat modal. Padahal, pembukaan luas lapangan kerja bakal lebih besar jika investasi diprioritaskan pada sektor padat karya.

"Kalau pemerintah ingin mendorong investasi yang punya korelasi kuat terhadap penciptaan lapangan pekerjaan, berarti bagaimana kemudian arah investasi ini juga punya pos yang besar terhadap penciptaan lapangan pekerjaan. Jadi sektor-sektornya harus sektor padat karya ini tetap harus menjadi perhatian, tapi kita juga tidak bisa menyampingkan masalah teknologi karena kebanyakan investor-investor tentu saja akan meningkatkan profit dan mendorong efisiensi," ujar Faisal saat dihubungi KBR, Selasa (21/2/2023).

Ekonom dari lembaga kajian CORE Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, tren investasi padat modal seperti hilirisasi smelter dianggap yang paling dominan tahun lalu. Karena itu, dia mendorong agar investasi di sektor padat karya juga bisa dilirik pemerintah untuk menekan angka pengangguran.

Permasalahan lain yang menyebabkan peningkatan pengangguran adalah urbanisasi masyarakat yang tinggi. Pengamat ekonomi dari Celios, Bhima Yudhistira meminta pemerintah memangkas arus urbanisasi ini.

Baca juga:

Bhima menyebut, akan ada masalah baru yang akan ditanggung oleh pemerintah kota, karena tidak tercukupinya lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang melakukan urbanisasi.

"Ketimpangan antara prospek ekonomi di desa vs perkotaan. Yang merantau belum tentu sudah mendapatkan pekerjaan. Bisa jadi yang merantau itu statusnya adalah cari kerja yang belum tentu semua terserap yang akhirnya jadi pengangguran di perkotaan. Akan ada masalah lainnya seperti sampah, kemudian ada masalah sanitasi air bersih, kemudian kemacetan karena jumlah penduduk kota semakin bertambah. Nah ini harus segera diselesaikan, jadi kita harus memangkas arus urbanisasi ini," ujar Bhima Yudhistira, saat dihubungi KBR, Selasa (2/5/2023).

Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira menambahkan faktor minimnya lapangan pekerjaan di desa dan kurangnya minat masyarakat untuk bekerja di desa menjadi faktor utama penyebab tingginya urbanisasi.

Bhima meminta pemerintah daerah juga turut aktif dan berperan untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang inovatif dan kreatif di desa guna menekan angka pengangguran yang tinggi.

Editor: Agus Luqman

  • pengangguran
  • Investasi
  • pertumbuhan ekonomi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!