NASIONAL

Tak Jemu Menyoal Pengendalian Polusi Udara

"Pemerintah mesti mengambil langkah signifikan untuk melakukan pengendalian polusi udara"

Ninik Yuniati, Valda Kustarini

Tak Jemu Menyoal Pengendalian Polusi Udara
Bondan Andriyanu menyebut transportasi jadi sektor teratas penyumbang polusi udara di Jakarta. (Foto: Valda/ KBR)

KBR, Jakarta - Laporan IQAir, mencatat polusi udara di Indonesia menjadi yang terburuk di Asia Tenggara pada 2022. Sudah banyak studi yang memaparkan fatalitas dampak polusi udara terhadap kesehatan dan ekonomi. Namun, pemerintah dinilai belum mengambil langkah signifikan untuk mengatasi persoalan ini. Simak perbincangan jurnalis KBR Valda Kustarini bersama Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.

T: Pencemaran udara kan sudah lama menjadi concern publik dunia. Polusi udara sering disebut sebagai silent killer. Dan Greenpeace sebagai organisasi lingkungan pasti juga memberi perhatian serius. Nah, kalau di Indonesia, khususnya di Jakarta, seperti apa perkembangan isu ini?

J: Kita awal kampanye pemerintah itu belum mengukur PM 2,5 diwajibkan diukur. Di ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara) hanya mengukur polutan dari mulai PM 10, kemudian SO2, NO2, CO tanpa PM 2,5 karena itu belum wajib diukur, sehingga kita kampanye tahun 2017 kita aksi di Kementerian Kesehatan, kementerian -mereka bilang ya PM 2,5 belum wajib diukur karena belum ada aturannya, payung hukumnya belum ada. Akhirnya di 2020, ISPU mewajibkan PM 2,5 untuk diukur, jadi peraturannya setelah kita kampanye 2017 akhirnya 2020, 2021, 2022, banyak perbaikan, banyak juga alat pantaunya PM 2,5 itu, mulai dipasang sejak 2018 kalau ga salah, 2018 atau 2019.

T: Sebelum lebih jauh, boleh dijelasin, kenapa sih polusi partikel halus atau PM 2,5 ini selalu jadi concern?

J: Dunia global itu kan sekarang sudah bisa mendeteksi polusi udara itu apa, dengan berbagai teknologi yang ada dan mengkategorikan sumber pencemaran udara itu polutannya berasal dari mana. Katakanlah secara garis besar memang polutan, polusi udara itu dibagi 2 yaitu gas dan debu partikulatnya. Karena sekarang makin canggih, ternyata debu pun bisa dikategorikan lagi; debu yang besar disebut TSP (total suspended particulate), kemudian debu yang lebih kecil lagi, debu PM 10. PM itu adalah partikulat meter, debu-debu kecil yang ukuran 10 mikron, makin kecilnya lagi ternyata sudah bisa diukur lagi nih, ternyata ada polutan yang berukuran 2,5 mikron. Kenapa itu sangat berbahaya? Karena itu adalah debu, jadi ketika kita hirup si polutan itu ke dalam tubuh, kita akan mendapatkan PM 2,5 di dalam tubuh kita selamanya, dia ga akan hilang, dia akan menempel tergantung si tubuh manusia yang ada di dalamnya, bisa menempel di jaringan darah, ini akan menyebabkan stroke, bisa menempel di jantung bisa menyebabkan kanker, dan otak bisa menyebabkan kanker otak, kanker paru, dan segala macam. Bahkan sekarang PM 2,5 itu sudah banyak risetnya dampaknya kepada tingkat kesuburan. Di Cina sudah ada riset mengenai PM 2,5 korelasinya dengan tingkat kecerdasan anak. PM 2,5 ini ya debu kecil ya, yang berukuran 2,5 mikron saking kecilnya, dia bisa masuk ke dalam tubuh dan masuk dalam aliran darah, dan masuk ke dalam otak dan ke seluruh jaringan tubuh karena ketika kita sudah masuk ke dalam jantung, dia akan dipompa ke mana saja.

T: PM 2,5 ini sumbernya dari mana saja sih?

J: Si PM 2,5 ini secara garis besar ada dua. Pertama dari sumber pembakaran, apapun yang dibakar akan menghasilkan PM 2,5 baik kendaraan bermotor, bakar sampah, industri. Tapi kemudian ada juga namanya secondary air polutan, PM 2,5 yang berasal dari reaksi kimia berbagai macam jenis polutan. Misalnya, gas SO2 ini berasal dari industri biasanya, NO2 itu dari kendaraan, NH3 itu dari aliran got atau sungai yang mampet biasanya mengeluarkan NH3, VOC itu adalah kalau kita lagi isi bensin pas buka, kelihatan kan ada fatamorgana, itu VOC-nya. Nah, ketika semua gas itu ke udara, dan kondisi panas tinggi, kemudian kering, dia bisa menjadi PM 2,5 di udara. Jadi bayangkan ketika kondisi tertentu, panas terutama, terik, biasanya polutannya lebih tinggi, itu kenapa data secara general yang kita dapatkan 2019, 2020, 2021 memang musim-musim kemarau ini terjadi peningkatan PM 2,5 yang cukup signifikan.

T: Pada 2019 kan Greenpeace mengawal gugatan yang diajukan 32 warga negara terkait polusi udara di Jakarta. Yang digugat ga main-main nih, mulai dari pemprov Jakarta, Banten, Jawa Barat, KLHK sampai Presiden. Bisa diceritakan Mas prosesnya sidang saat itu?

J: Cukup alot, tantangannya adalah sulitnya mencari ahli untuk mengatakan polusi udara ini berbahaya bagi kesehatan, karena di dalam sidang itu, Menteri Kesehatan selalu "berkilah" bahwa dampak kesehatan itu sangat banyak variabelnya. Jadi polusi udara tidak langsung dapat direlasikan, orang meninggal atau sakit karena polusi udara. Dan akhirnya di 2021 kita dimenangkan, hakim memutuskan bahwa para tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Tapi kita selalu bilang ini adalah kemenangan yang 50:50, kenapa 50:50? Karena hanya satu yang dimenangkan, yaitu pemerintah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, tapi tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM, karena kita minta juga bahwa ini melakukan pelanggaran HAM, tapi itu tidak dikabulkan.

Baca juga:

Kerugian Nyata Polusi Udara: yang Kentara dan yang Tak Kasat Mata (Bagian 1)

Kerugian Nyata Polusi Udara: yang Kentara dan yang Tak Kasat Mata (Bagian 2)

red
Istu Prayogi warga Jakarta yang terdampak secara ekonomi dan kesehatan, ia ikut dalam citizen lawsuit terkait polusi udara. (Foto: Valda/KBR)

T: Dan gugatan ini sebenarnya kan sudah 2 kali dimenangkan warga ya sampai terakhir di tingkat banding. Meski, belakangan malah pemerintah mengajukan kasasi. Nah, tapi sebenarnya semenjak kalah di pengadilan, ada ga langkah perbaikan yang dilakukan pemerintah?

J: Belum ada langkah nyata dari seluruh tergugat ya, kecuali DKI Jakarta sedikit agak progres yaitu adalah, sudah menambah alat pantaunya kemudian website-nya juga ada, KLHK dan DKI Jakarta. Dan sudah ada rencana aksi penanggulangan pencemaran udara. Ada 75 rencana aksi yang dikatakan untuk menangani pencemaran udara dan yang menarik ternyata kalau diblejetin rencananya hingga 2030 PM 2,5 yang diturunkan hanya sekitar 40%. Jadi sudah dipastikan udara di Jakarta hingga 2030 akan melebihi baku mutu dan ambien, karena saat ini data DKI Jakarta adalah PM 2,5 tahunannya adalah 35-40, kalau turun 40% artinya masih 20-an kan? 20 atau 25, itu masih melebihi baku mutu dan ambien tahunan (BMUA) menurut KLHK itu 15. Artinya kan masih jauh di atas baku mutu dan masih tercemar. Dengan rencana ini aja Jakarta hingga 2030 kita akan menghirup udara yang tercemar, meski sudah punya rencana ini. 

T: Kalau spesifik di Jakarta, aktivitas apa aja sih yang menghasilkan polusi terbanyak?

J: Di DKI Jakarta itu punya data agak lengkap memang. Di 2015 disebutkan ternyata sumber terbesarnya adalah transportasi darat, kemudian industri, yang urutan ketiga adalah pembangkit listrik. Terbesarnya adalah polutannya PM 2,5, kemudian SO2, kemudian CO ini transportasi darat juga dan NOX, NOX juga transportasi darat. Artinya sumber terbesarnya secara garis besar memang tiga itu, transportasi, industri, dan pembangkit listrik. Ada dalam laporan ini menariknya adanya bisa jadi Jakarta itu sudah ada polusinya dari transportasi, industri, bakar sampah dan juga ada tambahan lain dari luar Jakarta yang kita sebut transboundary air pollution. Bahkan sebenarnya kalau dengan memakai logika seperti ini, bisa jadi Jakarta pun mentransfer polusi udaranya keluar DKI Jakarta, artinya itulah pentingnya dalam gugatan itu disandingkan 3 provinsi tadi Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta untuk duduk bareng, untuk melakukan banyak hal yang sama sehingga kita bisa lihat dengan mudah bagaimana keberhasilannya jika semuanya melakukan yang sama.

T: Industri kan menjadi salah satu sumber polutan terbesar, apakah sudah ada penindakan tegas dari pemerintah?

J: Secara sistematis belum, kenapa saya bilang secara sistematis? Harusnya kan ketika sudah jelas sumber pencemarannya adalah industri, transportasi, dan bakar sampah, itu belum ada upaya yang secara legal ada. Yang pernah terjadi adalah tiba-tiba DKI Jakarta melakukan sidak di beberapa industri, berapa emisinya. Harusnya sebenarnya yang paling kita inginkan adalah sistematis, kenapa? Setiap industri itu wajib mengumumkan emisi yang dikeluarkan. Ketika sudah ada data emisi yang dikeluarkan, sehingga publik kan tahu tuh 'oh industri ini mengeluarkan SO2 sekian, PM 2,5 sekian'. Nah, ketika sudah ada, itu publik dengan mudah memantau, 'wah ini dia mencemari', bukan seolah hanya sidak. Nah, sidak ini kan bisa sangat di-setting ya. Mau sidak nih, nanti tiba-tiba diakalin. Nah, harusnya sebenarnya data sumber emisi itu jadi data publik karena industri itu wajib mengumumkan sumber pencemarannya apa. Dan ketika sudah ada sumber emisinya yang di publik, tidak bisa dibantah lagi, karena sampai saat ini pun dilakukan tindakan, secara regulasi sebenarnya ini masih lemah, kenapa saya bilang lemah? Karena ketika industri emisinya melebihi batas ada urutan yang harus dilewatkan. Pertama adalah teguran, kedua adalah pendampingan teknis, ketiga adalah teguran administrasi. Jadi belum ada langsung tutup, ketika dia jelas melebihi baku mutunya. Harusnya kan kalau sudah tegas peraturannya, itu tidak bertahan seperti itu, kalau jelas melebihi baku mutu ya sudah tutup. Ini yang kita bilang secara sistematis seolah-olah industri itu masih "dilindungi" ketika mereka melakukan pelanggaran atau melebihi emisinya di ambang batas.

T: Polusi udara ini pasti punya dampak dari sisi ekonomi. Ada risetnya ga kira-kira berapa angka kerugiannya?

J: Kita pernah bikin riset namanya realtime cost counter, itu menghitung dampak polutan PM 2,5 di Jakarta kaitannya dengan kematian dini dan kerugian ekonomi, potential lost-nya. Di 2020 kemarin kita temukan, mungkin ada kematian dini itu sekitar 13 ribu jiwa dan potensi ekonominya sekitar 49,5 triliun rupiah ya. Ini 2020 dan ini terus akan bertambah sebenarnya 2021 dan 2022. Nah, ini seiring dengan yang kita bikin riset itu, ternyata DKI Jakarta juga bikin riset yang hampir sama. Kalau tadi kita 49,5 triliun, di DKI Jakarta itu pernah riset juga di 2015 -kalau ga salah- itu mengatakan, estimasi biaya orang yang berobat ke rumah sakit itu sekitar 38,5 triliun. Orang yang ke rumah sakit akibat polusi udara misalnya batuk, asma, dan segala macam ya. Ini adalah biayanya saja, belum menghitung orang ongkos ke rumah sakitnya, belum menghitung orang yang menjaganya. Dan diestimasikan di 2020 itu mencapai 60,8 triliun, angkanya hampir mirip ya dengan yang Greenpeace estimasi, di 2020 ini 49,5 triliun. Artinya itu kerugian ekonomi yang nyata ketika PM 2,5 atau polutan itu dibiarkan dan kita akan terus merasakan ini dan lost ini akan terus kita rasakan.

T: Nah, bagi masyarakat nih, mitigasi apa yang bisa dilakukan secara mandiri untuk mencegah dampak buruk polusi udara? Ya mengingat pemerintah lamban bergerak.

J: Ketika data resminya sudah menyatakan tidak sehat, pertama yang dilakukan harusnya ada edukasi atau warning ya kepada masyarakat untuk melindungi, minimal terpapar dari polusi udara. Pertama, pakai masker iya, kenapa? Karena sekarang ada masker N95 mungkin sekarang sudah mulai dikenal ketika pandemi ya. Kenapa dibilang N95? Dia bisa mem-filter si PM 2,5 sampai 95%. Yang kedua, sebenarnya ketika kita di dalam ruangan, perlu juga kita pasang air purifier, memfiltrasi udara sebenarnya, sehingga kita bisa terlindung ketika kita di dalam ruangan. Di luar ruangan tidak sehat, di dalam ruangan kita bisa filtrasi dengan si air purifier tadi.

  • dampak polusi udara
  • lingkungan
  • kesehatan
  • ekonomi
  • greenpeace

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!