KBR, Jakarta– Mahkamah Konstitusi memutuskan masa jabatan pimpinan di Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi inkonstitusional bersyarat. MK mengubah periode kepemimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.
Hakim MK Arief Hidayat beralasan, aturan baru ini untuk menguatkan kedudukan pimpinan KPK.
"Mahkamah berpendapat sebagai berikut, bahwa pada dasarnya MK pernah memutus terkait masa jabatan pimpinan KPK sebagaimana Pasal 34 UU KPK, dalam putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Juni 2011 dengan amar putusan menyatakan inkonstitusional bersyarat," ucap Hakim Arief Hidayat dalam sidang yang disiarkan daring pada Kamis (25/5/2023).
Hakim MK Arief Hidayat menambahkan, Masa jabatan KPK 4 tahun akan mengancam independensi KPK. Lantaran penilaian presiden dan DPR bisa dilakukan dua kali. Presiden dan DPR hasil Pemilu 2019 akan melakukan penilaian/seleksi selama dua kali, yaitu pada Desember 2019 dan Desember 2023. Ini berpotensi mempengaruhi independensi pimpinan KPK.
Putusan ini diwarnai perbedaan pendapat. Dari sembilan hakim MK, empat di antaranya memberikan dissenting opinion.
Baca juga:
- MK Tolak Gugatan Pemberhentian Hakim Aswanto
- Partai Buruh Siapkan Gugatan Uji Materiil Perpu Ciptaker ke MK
Gugatan uji materi masa jabatan pimpinan KPK diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Gufron. Gugatan diajukan terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya Pasal 29 e dan Pasal 34 terhadap Pasal 28 D ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor 112/PUU-XX/2022.
Ghufron mengatakan masa pemerintahan di Indonesia yang ditentukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) adalah lima tahun. Dia menilai seluruh periodisasi pemerintahan semestinya juga selaras dengan ketentuan itu.
Kata dia, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya juga disamakan dengan 12 lembaga non-kementerian atau auxiliary state body di Indonesia. Jika hal itu tidak disamakan, lanjutnya, maka berpotensi melanggar prinsip keadilan.
Editor: Rony Sitanggang