NASIONAL

Kontroversi Rencana Penambahan Kodam

"Agenda reformasi TNI seharusnya semakin mendorong TNI untuk konsisten dan fokus pada penguatan pertahanan negara, terutama dalam menghadapi ancaman dari luar."

Muthia Kusuma

Kodam
Pembakaran Pasar Waghete, di Papua Tengah (12/12/2022) akibat laporan warga alami gatal saat mengenakan baju yang baru dibeli di pasar. (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Setara Institute menilai Revisi Undang-Undang TNI dan rencana penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) di 38 Provinsi akan mengganggu penguatan pertahanan nasional.

Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie beralasan, wacana penambahan Kodam maupun revisi UU TNI diduga kuat sebagai upaya memperluas peran militer di ranah sipil. Dalam konteks revisi UU TNI, hal tersebut terlihat dalam perluasan cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan jabatan sipil bagi prajurit aktif

"Sementara dalam hal penambahan Kodam terlihat melalui pembentukan struktur TNI yang mengikuti struktur administrasi pemerintahan hingga ke daerah, sehingga TNI semakin dekat dengan peran-peran sipil di daerah. Maksudnya, penambahan Kodam bukan sekadar kodam. Ada struktur-struktur teritorial TNI setelah Kodam di daerah itu yang juga akan bertambah," ucap Ikhsan kepada KBR, Jumat, (26/5/2023).

Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie menambahkan, agenda reformasi TNI seharusnya semakin mendorong TNI untuk konsisten dan fokus pada penguatan pertahanan negara, terutama dalam menghadapi ancaman dari luar.

Menurutnya, saat ini terjadi ketidakpastian ancaman, mulai dari wabah Pandemi hingga konflik Rusia-Ukraina. Ia juga mendorong TNI melakukan penguatan pertahanan modern, termasuk pemanfaatan teknologi pertahanan.

Pelanggaran Kebebasan Sipil

Di lain pihak, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga menyinggung rencana pembentukan Kodam dikaitkan potensi pelanggaran kebebasan sipil.

Baca juga:

- Risiko Pendirian Kodam di 4 DOB Papua

- Pembentukan Kodam di Tiap Provinsi, Kontras: Berbahaya

KontraS mencatat, sepanjang 2022 terjadi puluhan kasus penangkapan sewenang-wenang dan pembubaran paksa di Papua. Peneliti KontraS, Haris Giovani menyebut, pelanggaran kebebasan sipil di Papua itu sebagai dampak penerapan kebijakan dengan pendekatan keamanan.

"Karena berdasarkan pemantauan yang kami lakukan terdapat setidaknya 34 kasus penangkapan sewenang-wenang, dan ada 31 kasus pembubaran paksa di sana, sepanjang tahun. Kalau mau dirata-ratakan, setiap bulan terjadi dua sampai tiga kasus begitu dari pelanggaran kebebasan sipil yang terjadi di Papua," ujar peneliti KontraS Haris Giovani saat acara Diskusi Publik : Hasil Studi dan Dokumentasi Kebijakan Strategis Pemerintah Pusat di Papua (26/5/2023).

Haris menambahkan, puluhan pelanggaran kebebasan sipil yang terjadi di Papua, sebagai akibat dari dua hal. Pertama, pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) yang diikuti dengan pembentukan Komando Daerah Militer (Kodam).

Dan kedua, akibat pembangunan proyek strategis nasional yang harus dijaga ketat, dengan menurunkan banyak personel aparat keamanan. Proyek strategis nasional itu diantaranya pembangunan lumbung pangan atau food estate.

Editor: Fadli

  • Kodam
  • Papua
  • TNI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!