NASIONAL

Eks Pimpinan KPK: Putusan MK soal Masa Jabatan Pimpinan KPK Paradoks, Kontradiktif

"MK beralasan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK untuk menjaga independensi. Saut membantah, karena sejak keluarnya UU Nomor 19/2019, KPU sudah tidak independen. "

Heru Haetami

putusan MK
Aktivitas sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (23/5/2023). (Foto: ANTARA/Aditya Pradana)

KBR, Jakarta - Bekas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.

Putusan MK itu mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyebut keputusan itu untuk melindungi independensi KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Saut Situmorang menganggap dalil MK tidak berdasar. Menurut Saut, putusan MK itu tidak mempengaruhi independensi KPK. Apalagi, menurutnya, independensi KPK sudah hilang sejak adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Undang-undang itu menempatkan KPK di rumpun eksekutif di bawah presiden.

"Mengancam di mana maksudnya? Justru ini dengan dibuat periodisasi itu mengancam independensi dan sebenarnya dengan Undang-undang 19/2019 itu sudah mengancam independensi. Undang-undang 19/2019 itu menunjukkan bahwa KPK itu sudah bagian dari pemerintah. Itu saja sudah tidak independen. Kalaupun dikatakan independen, masa sih independen? Sedangkan dia udah bagian dari pemerintah. Padahal, di periode sebelumnya sebelum ada UU 19/2019 KPK bukan bagian pemerintah. Jadi sangat kontradiksi, sangat paradoks itu dengan pernyataan ini. Artinya justru ini makin dependen," kata Saut kepada KBR, Kamis (25/5/2023).

Baca juga:

Eks Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menambahkan, perpanjangan periode jabatan pimpinan KPK juga menghilangkan tugas saling mengontrol, menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga negara (check and balance).

"Kalau periodenya empat tahun, perilaku transaksional itu bisa diminimalkan. Karena belum selesai pemerintahan ini sudah masuk pengurus KPK yang baru, yang diharapkan bisa melakukan check and balances. Jadi kebalikannya, seperti yang saya katakan, logika berpikir, nalar berpikir dan argumentasi berpikir MK ini sudah bablas ke mana mana," katanya.

Putusan MK

Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal masa jabatan pimpinan di Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi inkonstitusional bersyarat. MK mengubah periode kepemimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.

Pasal 34 UU KPK yang semula berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”.

Hakim MK Arief Hidayat beralasan, aturan baru ini untuk menguatkan kedudukan pimpinan KPK.

"Mahkamah berpendapat sebagai berikut, bahwa pada dasarnya MK pernah memutus terkait masa jabatan pimpinan KPK sebagaimana Pasal 34 UU KPK, dalam putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Juni 2011 dengan amar putusan menyatakan inkonstitusional bersyarat," ucap Hakim Arief Hidayat dalam sidang yang disiarkan secara daring di kanal MK, Kamis (25/5/2023).

Hakim MK Arief Hidayat menambahkan, masa jabatan KPK selama 4 tahun akan mengancam independensi KPK. Pertimbangannya, penilaian presiden dan DPR bisa dilakukan dua kali. Presiden dan DPR hasil Pemilu 2019 akan melakukan penilaian selama dua kali, yaitu pada Desember 2019 dan Desember 2023. Ini berpotensi mempengaruhi independensi pimpinan KPK.

Putusan ini diwarnai perbedaan pendapat. Dari sembilan hakim MK, empat di antaranya memberikan dissenting opinion. Empat hakim menyatakan semestinya MK menolak uji materi Nurul Ghufron. Hakim yang memberikan dissenting opinion antara lain Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan masa jabatan anggota komisi atau lembaga tidak seragam lima tahun. Ia menyebut misalnya pimpinan KPK menjabat 4 tahun, anggota Komisi Informasi menjabat 4 tahun, anggota KPPU menjabat 5 tahun, anggota Komnas HAM dan juga anggota Komisi Yudisial menjabat 5 tahun. Sedangkan, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di pusat maupun daerah menjabat 3 tahun.

"Ketidakseragaman mengenai masa jabatan komisi negara di Indonesia tidak dapat ditafsirkan telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminatif, serta timbulnya keraguan masyarakat atas posisi dan independensi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon," kata Enny.

Dari empat hakim konstitusi yang menyatakan dissenting opinion, Wahiduddin Adams merupakan satu-satunya hakim konstitusi yang dahulu berpendapat Undang-undang KPK hasil revisi bertentangan dengan konstitusi.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

  • putusan MK
  • masa jabatan pimpinan KPK
  • UU KPK
  • Firli Bahuri

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!