NASIONAL

Begini Alasan Pemerintah Tak Minta Maaf atas Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

""Pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali""

Muthia Kusuma

Pelanggaran HAM berat
Ilustrasi: Aksi Kamisan menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di seberang Istana Merdeka Kamis (09/06/22). (Antara/Aditya Pradana)

KBR, Jakarta-  Pemerintah menegaskan tidak menyampaikan permintaan maaf terkait pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD beralasan, hal itu sesuai dengan rekomendasi Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat dalam rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo, hari ini. 

Kata dia,  pemerintah akan fokus pada pemulihan hak-hak korban, bukan penegakan hukum terhadap pelaku.

"Dalam rekomendasi penyelesaian nonyudisial itu, tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu, tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu, dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu, misalnya TAP MPRS Tahun 1966," ucap Mahfud dalam jumpa pers Selasa, (02/05/2023).

Menkopolhukam Mahfud MD menambahkan, tidak ada perubahan atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diputus pengadilan. Adapun pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi fokus pemerintah ada 12 peristiwa berdasarkan ketentuan Komnas HAM. Peristiwa itu di antaranya adalah peristiwa tahun 1965 dan 1966, Talangsari di Lampung, kasus Wamena di Papua tahun 2003, hingga peristiwa Jambo Keupok di Aceh 2003. Ia menegaskan pemerintah tidak bisa menambahkan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, tanpa ketentuan Komnas HAM.

Mahfud juga meminta masyarakat memahami perbedaan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dengan kejahatan berat. Menurutnya, suatu peristiwa dapat berstatus pelanggaran HAM berat jika memenuhi unsur-unsur sesuai ketentuan Komnas HAM. Semisal pelaku pelanggaran HAM berat melibatkan aparat secara terstruktur, bukan kejahatan oleh pelaku sipil.

Lebih jauh Mahfud mengatakan, penegakan hukum terhadap pelaku merupakan wewenang Komnas HAM bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keputusan dari dua lembaga itu yang akan menentukan tindak lanjut atau penanganan dari pemerintah.

 Baca juga:

Sebelumnya Presiden Jokowi menerbitkan  Keppres Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.  Presiden juga   menerbitkan   Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pengakuan itu merupakan rekomendasi dari Tim PPHAM yang dibentuk pemerintah. 

Berikut 12 kasus pelanggaran berat masa lalu;

1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989;
5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998;
6. Peristiwa kerusuhan Mei 1998;
7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999;
8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
9. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999;
10. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002;
11. Peristiwa Wamena, Papua di 2003, dan
12.Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.

Editor: Rony Sitanggang

  • Keppres TPPPHAM
  • Komnas HAM
  • Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
  • Presiden Jokowi
  • Tim Pemantau PPHAM
  • HAM
  • Inpres TPPHAM
  • Tim PPHAM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!