NASIONAL

25 Tahun Reformasi, UU Ciptaker Membuat Buruh Takut Berserikat

"Kahar juga merespon pernyataan Dita, tidak fair membandingkan kebebasan berpendapat dan berserikat saat sebelum dan sesudah era reformasi."

Wahyu Setiawan, Fadli

25 Tahun Reformasi
Massa Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) berunjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja di Jakarta (20/10/2020). (Foto: ANTARA/Andi Firdaus)

KBR, Jakarta - Partai Buruh menilai, pernyataan Dita Indah Sari selaku Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan terkait semakin bebasnya buruh berserikat dan berorganisasi, tidak sepenuhnya benar.

Menurut juru bicara Partai Buruh, Kahar S Cahyono, serikat pekerja atau serikat buruh memang semakin banyak jumlahnya. Bahkan seperti diklaim Dita Indah Sari, jumlahnya kini mencapai 250-300 serikat pekerja tingkat lokal, dan 16 serikat pekerja di tingkat nasional.

"Tapi asal tahu saja, meski jumlah serikat pekerja bertambah banyak, ironisnya jumlah pekerja yang bergabung dan menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh justru semakin sedikit. Penurunan jumlah buruh yang menjadi anggota serikat pekerja ini, karena mereka takut, ketika mereka bergabung dalam serikat pekerja, dan status kerja mereka sistem kontrak, maka gampang mereka dipecat oleh pengusaha atau pemilik perusahaannya. Kontrak kerja mereka pun gampang untuk tidak lagi diperpanjang. Buruh ketakutan berserikat, ya karena efek pengesahan dan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja itu. Serikat pekerja pun tidak bisa berbuat banyak membela buruh yang dipecat, dan sebelumnya takut untuk berserikat," tutur Kahar kepada KBR (22/5/2023).

Kahar juga merespon pernyataan Dita, tidak fair membandingkan kebebasan berpendapat dan berserikat saat sebelum dan sesudah era reformasi.

"Itu sudah tidak relevan lagi, karena di era reformasi, sudah jelas kebebasan berpendapat dan berserikat semakin bebas. Seharusnya, bandingkanlah kebebasan berserikat dan berpendapat itu sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja. Karena regulasi ini justru menghambat kebebasan kaum buruh. Bahkan penyusunan undang-undang itu pun tidak sesuai perintah untuk dilaksanakan secara partisipasi bermakna," ujar Kahar.

Baca juga:

- 25 Tahun Reformasi, Stafsus Kemenaker Klaim Buruh Kian Bebas Bersuara

- 25 Tahun Tragedi Trisakti: Desakan dan Cerita Saksi Mata

Di kesempatan berbeda, kebebasan berpendapat di kalangan buruh diklaim semakin bebas pasca-reformasi. Bahkan, menurut bekas aktivis buruh yang kini menjabat Staf Khusus Kementerian Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari, kaum buruh makin bebas menyuarakan opini dan berorganisasi. Tidak ada lagi bentuk hambatan apapun dari rezim penguasa.

"Ada kebebasan yang sangat-sangat kuat dalam mengungkapkan pendapat, beropini, berorganisasi. Dulu serikat pekerja dan serikat buruh itu di zaman kita masih berjuang itu, hanya dua, yang punya pemerintah itu satu. Nah sekarang itu hampir 250 atau 300 serikat pekerja tingkat lokal, tingkat nasional mencapai 16. Jadi dari segi kuantitatif ada peningkatan besar dari jumlah organisasi dan keberanian orang untuk mengungkapkan pendapat, bahkan untuk beroposisi terhadap pemerintah," kata Dita Indah saat dimintai komentar KBR terkait "25 Tahun Usia Reformasi", melalui telepon pada Senin (22/5/2023).

Dita juga mengeklaim, saat ini penyusunan regulasi selalu melibatkan kalangan buruh. Dita berharap, kehadiran dirinya di pemerintahan bisa menjadi jembatan antara pemerintah dengan para aktivis buruh yang senantiasa menyuarakan berbagai kritik.

Editor: Fadli

  • 25 tahun reformasi
  • Buruh
  • Partai Buruh

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!