BERITA

Menyoal Stempel Pegawai KPK yang Tak Bisa Dibina

""Dan ini adalah langkah mundur di dalam proses demokrasi dan reformasi." "

Wahyu Setiawan

Menyoal Stempel Pegawai KPK yang Tak Bisa Dibina
Gedung Merah Putih KPK. Foto: kpk.go.id

KBR, Jakarta- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan 51 pegawainya tak bisa lagi dibina, karena tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Puluhan pegawai itu tak lolos indikator PUNP, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah. 

Stempel ini berpotensi memunculkan stigma negatif kepada puluhan pegawai tersebut. Tepatkah stempel itu diberikan hanya berbasis tes kepada puluhan orang yang selama ini getol memberantas korupsi di negeri ini?

Pengumuman soal nasib 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK disampaikan Komisioner KPK Alexander Marwata, Selasa, 25 Mei 2021. Keputusan itu disampaikan setelah rapat koordinasi antara KPK dan sejumlah lembaga, antara lain Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kemenkumham, dan Kemenpan-RB, di kantor BKN, Jakarta. 

"Dan kemudian kita sepakati bersama, dari 75 itu dihasilkan bahwa ada 24 pegawai dari 75 tadi yang masih dimungkinkan untuk dilakukan pembinaan sebelum diangkat menjadi ASN. Sedangkan yang 51 orang, ini kembali lagi dari asesor, itu sudah warnanya dia bilang sudah merah dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pembinaan," ujarnya.

Kepala BKN Bima Haria Wibisana menyebut 51 pegawai itu tak bisa dibina lagi lantaran tidak lolos aspek PUNP dalam tes. Dia mengatakan aspek PUNP itu merupakan harga mati yang harus dipenuhi untuk menjadi ASN.

"Jadi tidak bisa dilakukan penyesuaian dari aspek tersebut. Bagi mereka yang aspek PUNP-nya bersih, walaupun aspek pribadi dan pengaruhnya terindikasi negatif, itu masih bisa dilakukan proses melalui diklat. Jadi dari sejumlah 75 orang itu, 51 orang itu menyangkut aspek PUNP. Bukan hanya itu, yang 51 ini tiga-tiganya negatif," kata Bima di kantor BKN, Selasa (25/5/2021).

Namun, Bima tak menjelaskan lebih rinci indikator-indikator atau pertanyaan yang ditanyakan dalam tes.

Pertanyaan Ganjil di TWK

Sebelum pengumuman hasil tes disampaikan, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono mengungkapkan sejumlah pertanyaan yang dinilai ganjil. Giri merupakan salah satu dari 75 pegawai yang tak lolos tes.

Giri menjelaskan ada tiga jenis tes. Yaitu sikap seseorang dalam menanggapi sejumlah isu, lalu profiling, serta tes esai menjawab beberapa pertanyaan. Pertanyaan itu seperti tanggapan atas FPI, Rizieq Shihab, DI/TII, gerakan Papua merdeka, serta sikap atas kebijakan yang diambil pemerintah.

"Beberapa hal yang berkembang dalam isu-isu politik nasional. Kemudian ada tes berbentuk esai menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Nah, itu kalau misalkan pertanyaan-pertanyaan tadi itu, tanggapan terhadap HTI, Habib Rizieq, DI/TII, pendapat terhadap kebijakan pemerintah, kemudian mana yang kebijakan pemerintah setuju dan tidak setuju, itu di esai," kata Giri.

Jelmaan Litsus dan Stempel Merah

Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai, pertanyaan semacam itu seperti jelmaan penelitian khusus (litsus) di masa Orde Baru. Sebab, ada skrining ideologis untuk mengucilkan orang yang dituduh terafiliasi dengan paham atau kelompok tertentu.

"Dan ini adalah langkah mundur di dalam proses demokrasi dan reformasi," ujarnya.

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur bahkan menyebut tes pegawai KPK ini lebih buruk daripada listus orde baru.

"Dengan stigma, dengan target stempel yang jauh lebih buruk. Sekarang seolah-olah 75 orang ini melakukan kesalahan berat. Sehingga distempel merah, tidak bisa diperbaiki, dan lain-lain. Padahal di KPK itu jelas. Atau bahkan kita ya sebagai orang yang biasa bekerja di pabrik dan lain-lain, kalau Anda mau ngecap, kalau Anda mau memberhentikan, jelas ada kesalahannya apa, tindakan mana yang disalah, diuji dulu di sidang etik. Nah ini mereka tanpa kesalahan, mereka tanpa tinggalkan yang bisa dievaluasi, tanpa forum pembelaan, mereka nggak bisa klarifikasi itu semua dan dituduh langsung stempelnya merah gitu," ujar Isnur.

Menurut Isnur, stempel merah ini akan menimbulkan stigma negatif yang merugikan pegawai, keluarganya, rekam jejaknya, hingga pengabdiannya selama ini. Stempel itu juga terkesan melabeli para pegawai lebih buruk dibanding teroris. Sebab teroris pun masih bisa dibina dengan deradikalisasi.

TWK Tak Punya Landasan Hukum

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, alasan BKN dan KPK memberhentikan pegawai yang tak lolos tes sangat mengada-ada dan terlalu memaksakan. Dengan nada satire, Feri menilai stempel pegawai tak bisa dibina terlalu berlebihan.

"Warga negara kok tidak bisa dibina. Kalau warga negara tidak bisa dibina, ya jangan dijadikan warga negara," ucap Feri.

Feri menilai, pertanyaan-pertanyaan dalam tes --berdasarkan cerita pegawai KPK-- justru bertentangan dengan aspek NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Sehingga itu tidak bisa dijadikan indikator untuk menyatakan 51 pegawai KPK tak bisa dibina.

Feri juga menekankan bahwa tes ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas.

"Jadi BKN sebenarnya sedang bekerja sama memaksakan bersama KPK untuk menyingkirkan 51 nama ini," kata dia.

Editor: Sindu Dharmawan

  • TWK KPK
  • TWK
  • KPK
  • 75 Pegawai KPK
  • Litsus
  • BKN
  • Kemenpan-rb
  • PUNP

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!