BERITA

Atasi Konflik Lahan, Pemerintah Luncurkan Peta Hutan Adat

"Bagi kalangan masyarakat adat dan aktivis terkait, Peta Hutan Adat bisa menjadi alat untuk melawan perampasan wilayah."

Adi Ahdiat

Atasi Konflik Lahan, Pemerintah Luncurkan Peta Hutan Adat
Masyarakat Dayak Iban di hutan adat Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (8/10/2015). (Foto: Wikimedia Commons/Hendrojkson)

KBR, Jakarta - Sejak puluhan tahun silam, masyarakat adat yang bermukim di hutan-hutan Nusantara kerap berkonflik dengan banyak pihak, mulai dari perusahaan sampai lembaga pemerintahan. 

Menurut laporan Huma, organisasi yang berfokus di isu lahan dan sumber daya alam, sepanjang tahun 2018 saja ada 176.337 orang masyarakat adat yang menjadi korban konflik lahan.

Terkait masalah tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) kini baru meluncurkan Peta Hutan Adat (PHA) dan Wilayah Indikatif Fase I.

Peta tersebut menetapkan secara jelas wilayah hutan adat di berbagai penjuru Indonesia, dengan total luasnya 472.981 hektare.

“Penetapan (PHA) ini memberikan jaminan dan upaya percepatan pencantuman hutan adat dari Pemerintah,” jelas Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam rilisnya (27/5/2019).

''Penetapan (PHA) ini juga untuk memfasilitasi penyelesaian konflik ruang dengan para pihak, serta fasilitasi percepatan penerbitan Peraturan Daerah,'' tambahnya.


Alat Melawan Perampasan Wilayah

Kalangan masyarakat adat dan aktivis terkait menilai, PHA bisa menjadi alat untuk melawan perampasan wilayah.

Hal ini diungkapkan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Malamoi, Papua Barat, Sem Vani Ulimpa.

Dalam situs resmi AMAN, Sem mengatakan, “Pemetaan partisipatif wilayah adat sangat penting dilakukan di wilayah adat Moi (Papua Barat), karena sebagian wilayah adat Moi sudah dipenuhi dengan ijin-ijin operasi dari berbagai perusahaan HPH (Hak Pengusaha Hutan), perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan perkebunan sawit skala besar,” tegasnya (24/5/2019).

Pentingnya arti PHA juga ditegaskan Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodiharjo.

Dalam wawancara dengan Mongabay, Hariadi menjelaskan, ”Peta indikatif hutan adat ini penting agar wilayah adat tak diganggu gugat untuk kepentingan lain, seperti pemberian izin untuk korporasi dan lembaga di luar masyarakat adat,” ujarnya.


Masih Perlu “Penetapan Hutan Adat”

PHA memang diharapkan bisa membendung masuknya izin aktivitas industri kehutanan, perkebunan, atau pertambangan ke wilayah adat.

Namun peta saja belum cukup. Agar ruang hidupnya bisa terbentengi dengan kuat, masyarakat adat memerlukan kepastian status hukum melalui penetapan hutan adat.

Aturan dan prosedur penetapan hutan adat sudah diresmikan Kementerian LHK sejak tahun 2015. Namun, menurut peneliti dari Koalisi Hutan Adat, proses implementasinya berjalan sangat lambat.

Koordinator tim peneliti Koalisi Hutan Adat, Nia Ramdhaniaty, mencatat bahwa pemerintah hanya menetapkan 11 – 12 hutan adat tiap tahunnya.

Jika prosesnya berjalan seperti itu terus, Nia memperkirakan Indonesia akan butuh waktu 196 tahun untuk menyelesaikan penetapan hutan bagi 2.332 masyarakat adat di seantero Nusantara.

Karena itu, kalangan aktivis dan akademisi pembela masyarakat adat mendorong pemerintah agar terus melakukan percepatan dalam penetapan hutan adat.

  • masyarakat adat
  • Kementerian LHK
  • hutan
  • industri perkebunan
  • hutan tanaman industri
  • hak pengusaha hutan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!