HEADLINE

Adu Definisi dalam Revisi UU Antiterorisme

Adu Definisi dalam Revisi UU Antiterorisme

KBR, Jakarta - Apakah itu terorisme dan bagaimana batasannya? Definisi terorisme telah menjadi poin perdebatan dalam revisi UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dimulai sejak 2016. Bersama poin pelibatan TNI dan judul, poin definisi adalah tiga poin terakhir yang belum disepakati. 

Perdebatan definisi mengemuka karena membuat batasan: tindakan apa saja yang bisa dijerat dan tidak bisa dijerat, termasuk orang yang bisa ditangkap dan tidak. Misalnya, apakah polisi boleh menangkap orang yang merakit bom tapi belum melancarkan aksi? Kelompok HAM memperingatkan, longgarnya definisi terorisme bisa membuat polisi menangkap orang sewenang-wenang.

Berikut adalah debat definisi yang muncul dan dirangkum KBR:

1. Wiranto: Definisi Sudah Disepakati 

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan "sudah tidak ada perdebatan lagi" mengenai definisi dalam revisi. Hal ini dia sampaikan usai mengumpulkan sekjen dari 7 partai koalisi pendukung pemerintah di rumah dinasnya di Jakarta Selatan, Senin (14/5/2018) siang. Namun dia enggan menjelaskan poin yang disepakati dan menyebutnya "terlalu awam untuk nanti ditanggapi masayarakat." Kata dia, masyarakat akan mengetahuinya ketika revisi UU dibahas kembali di parlemen. 

2. PPP Arsul Sani: Opsi Ada Dua 

Anggota Pansus Revisi UU Antiterorisme dari PPP, Arsul Sani mengatakan definisi terorisme kini sudah mengerucut jadi dua opsi. Opsi pertama, adalah memasukkan frasa "motif, kepentingan politik, ideologi, atau adanya ancaman terhadap keamanan negara" dalam batang tubuh. Opsi kedua, menghapus frasa tersebut sehingga aparat keamanan punya "keleluasaan yang lebih" untuk bertindak.

3. LSM Imparsial: Pakai Pasal 6 UU Saat Ini 

Direktur LSM HAM Imparsial Al Araf mengusulkan pemerintah menggunakan definisi terorisme yang berlaku saat ini, ketimbang membuat definisi baru. Al Araf menyatakan UU 15/2003 Pasal 6 sudah menggambarkan unsur terorisme dan bisa digunakan sebagai definisi.

Pasal 6 UU tersebut berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain dikategorikan sebagai terorisme.

"Mendefinisikan sesuatu yang kompleks menjadi rumit, lebih baik menjelaskan unsur," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Senin (15/5/2018) sore.

Baca juga:

4. PDIP Risa Mariska: Tidak Perlu Definisi Supaya Lebih Leluasa

Anggota Pansus revisi UU Antiterorisme Risa Mariska dari PDI Perjuangan menyatakan definisi tidak perlu dicantumkan supaya aparat lebih leluasa dalam bertindak. Sebab, dengan definisi yang saklek, terduga teroris bisa dilepaskan jika tidak memenuhi unsur-unsur. "Ini akan mempersempit ruang gerak aparat hukum dalam memberantas terorisme," ujarnya usai diskusi UU Terorisme di Jakarta, Senin (14/5/2018). 

Dia menyebutkan sebuah definisi pernah diusulkan, ditolak, namun kini disepakati sebagaimana disebutkan Menkopolhukam Wiranto. Definisi ini adalah: 

Terorisme adalah perbuatan yang mengggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang stratgeis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan fasilitas internasional.

5. Komnas HAM: Harus Ada Definisi

Anggota Komnas HAM Sandrayati Moniaga justru menegaskan definisi harus ditetapkan. Hal ini supaya seluruh tindakan polisi bisa dilandasi hukum yang jelas. Kata dia, yang perlu didefinisikan bukanlah orang melainkan tindakan. "Karena kalau tanpa definisi semua orang bisa dianggap teroris," ungkapnya kepada KBR, Selasa (15/5/2018) sore.

Baca juga:




Editor: Nurika Manan
  • revisi UU Antiterorisme
  • RUU Antiterorisme
  • antiterorisme
  • terorisme
  • teroris

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!