KBR, Jakarta - Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF)
meminta pemerintah tidak memprioritaskan penanaman modal asing untuk
membangun infrastruktur. Pengamat ekonomi INDEF Ahmad Firdaus
mengatakan, ini lantaran pihak asing hampir selalu meminta syarat yang
merugikan Indonesia. Misalnya kerja sama bilateral dengan Tiongkok yang
dilakukan pemerintah beberapa waktu lalu. Ahmad merasa ini merugikan
karena Tiongkok meminta syarat 60% bahan baku diimpor dari negaranya.
Selain itu kontraktor dan insinyur proyek pun harus didatangkan dari
negara tirai bambu itu.
"Persyaratan-persyaratan
seperti itu mutlak ada dalam setiap kerja sama bilateral internasional
antara Indonesia dengan Korea kah, Jepang kah, Cina kah, itu semua
mensyaratkan hal seperti itu," kata Ahmad kepada KBR, Rabu (27/5/2015).
"Lantas bagaimana dengan nasib arsitek kita, insinyur kita? Ya hanya
jadi penonton di negeri sendiri. Industri kita yang terkait dengan bahan
baku infrastruktur itu tidak berkembang karena tidak diberi kesempatan
oleh pemerintah untuk melakukan supply di proyek-proyek infrastruktur di
dalam negeri," lanjutnya.
Ahmad menambahkan dari data
Bappenas, Tiongkok meneken kerja sama untuk membantu pembangunan 24
pelabuhan, 15 bandara, dan sejumlah proyek kereta cepat. Padahal kata
Ahmad, ada potensi anggaran dalam negeri yang bisa digunakan oleh
pemerintah. Misalnya berasal dari dana asuransi dan BPJS Ketenagakerjaan
yang kini hanya menjadi deposito. Menurutnya pemerintah harus bisa
merevisi peraturan agar bisa memakai dana yang besar tersebut untuk
membangun infrastruktur. Namun pemerintah juga harus bisa menjamin
proyek tersebut akan untung dalam jangka panjang.
INDEF mencatat kebutuhan investasi untuk infrastruktur
mencapai Rp 1.200 triliun per tahun. Namun APBN 2015 ini hanya
menanggarkan Rp 290 triliun. Kekurangan sekitar Rp 800 triliun itu, kata
Ahmad, bisa didapat dari dana BUMN atau Kerja sama Pemerintah dengan
Swasta (KPS).
Editor: Dimas Rizky