NASIONAL

Melawan Lupa dengan Memorial Mei 1998

Melawan Lupa dengan Memorial Mei 1998

KBR, Jakarta – Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, Stephanie Larassati baru berusia 13 tahun. Dia adalah orang Indonesia beretnis Tionghoa, rumahnya di Jakarta Barat. Ayahnya sedang ke luar kota, sementara di rumah hanya ada ibu dan saudara, termasuk dua adik kecil. 


“Saya masih bisa ingat perasaan takut yang mencekam pada malam kerusuhan,” kata Stephanie lewat surel yang dikirim kepada KBR, Kamis (15/5/2014). 


Massa yang mengamuk malam itu sudah mendekati kompleks perumahan tempat Stephanie tinggal. Mereka diminta untuk menggelapkan rumah untuk memberi kesan rumah kosong. Dan itu juga yang langsung dilakukan Stephanie. 


“Saya ingat, kami berkumpul di lantai dua dalam kegelapan. Sikap bersiap siaga. Saya dan saudara-saudara saya pegang tongkat, sapu atau semacam itu, untuk mempertahankan diri kalau perusuh masuk.”


Stephanie bersyukur karena tidak ada perusuh yang masuk ke rumah mereka dan menyakiti keluarganya. “Keluarga saya untungnya tidak ada korban fisik.”


“Betapa absurd kejadian itu, jika saya pikir sekarang. Kami begitu diliputi rasa takut yang begitu besar sampai muncul insting mempertahankan diri pada seorang anak-anak.”


“Apa yang saya alami itu tidak manusiawi dan tidak ada satu insan pun yang boleh mengalami hal semacam itu.”


Arsitektur sejarah 


Stephanie kemudian pindah ke Berlin, Jerman, untuk meneruskan sekolah. Menurut dia, Kota Berlin memberikan banyak inspirasi soal cara mengingat sejarah masa lalu negara yang kelam. 


“Ada banyak arsitektur untuk memperingati korban Nazi atau mendokumentasikan secara detil bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Jerman di masa lampau. Tujuannya hanya satu: agar ingat terus, supaya tidak terulang kembali.”


Menurut Stephanie, Jerman sangat terbuka akan sejarah masa lalu mereka yang kelam. Di masa Perang Dunia I, Jerman tumbuh menjadi salah satu kekuatan militer terbesar di dunia. Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler menjalankan politik rasis yang meninggikan bangsa Arya dan merendahkan ras-ras lain. Akibatnya, bangsa Yahudi didiskriminasi dan dibunuh di kamp konsentrasi. 


“Ini membuat saya reflektif akan pengalaman hidup saya saat terjadi kerusuhan Mei 1998.” 


Menurut Stephanie, Pemerintah Indonesia terkesan mengentengkan atau mengesampingkan sejarah dengan minimnya reaksi pemerintah. “Harus disadari bahwa dengan mengesampingkan atau melupakan sejarah kita telah membuka pintu bagi keberulangan sejarah tersebut, dan itu sepatutnya dicegah.” 


Buktinya terlihat nyata di Pemilu 2014. “Ini adalah cerminan langsung dari represi sejarah, di mana seseorang yang diduga kuat terlibat dalam Tragedi Mei 1998 justru menjadi calon presiden, sebagai kandidat kuat.”


“Fakta ini memperlihatkan bahwa, represi sejarah berjalan paralel dengan impunitas, dan impunitas berakibat langsung terhadap pengulangan kejahatan.”


(baca juga: Sumarsih: Saya Tidak Mau Ditawari Apapun dari Prabowo


Memorial Mei 1998 


Tahun 2011, Stephanie mulai mengerjakan tugas akhirnya sebagai mahasiswa S2 di Universitas Teknik Berlin Jurusan Arsitektur. Judul tugas akhirnya adalah “Memorial Mei 1998”. 


“Memorial Mei 1998 adalah gedung memorial hipotesis yang dirancang untuk mendokumentasikan sejarah dan memperingati korban Kerusuhan Mei 1998 serta membangkitkan kesadaran untuk tidak melupakan sejarah yang melibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),” jelas Stephanie. 


Ada tiga tema utama yang dimasukkan Stephanie dalam Memorial Mei 1998, yaitu perjuangan politik, diskriminasi rasial terhadap warga Tionghoa serta pelanggaran HAM. Dalam rancangan Stephanie, nanti akan ada blok-blok pameran yang merepresentasikan tema-tema Tragedi Mei 1998 melalui berbagai macam media seperti film, audio, instalasi seni dan sebagainya. Ada juga area untuk menonton film yang ditujukan untuk mendokumentasikan tema perjuangan politik. “Belum ada materi film yang akan diputar.”


Stephanie sadar betul bahwa yang dihadapi adalah sejarah masa lalu yang sangat kompleks. “Tema dan unsur sejarah yang diangkat masih harus dikembangkan lebih lanjut. Ini sebaiknya melibatkan berbagai pihak seperti sejarawan, akademisi, aktivis, masyarakat, mahasiswa dan seniman,” kata Stephanie. 


Karena itulah desain “Memorial Mei 1998” belum memasukkan soal pemerkosaan karena kompleksitas dan kesensitifan tema. “Untuk mengangkatnya, menurut saya butuh keterlibatan langsung korban sehingga pesannya secara benar tersampaikan. Saya berharap memorial ini bisa menjadi wadah bagi para korban untuk melepas lara dan trauma terpendam.”


(Baca juga: Mengintip Museum Serangan 11 September di New York)  


Proyek imajinatif bersama 


Dalam proses risetnya membuat Memorial Mei 1998, Stephanie bertemu banyak orang yang makin menguatkan niatnya serta membuka matanya akan apa yang terjadi pada 1998. 


“Saya bertemu jurnalis Maria Rita Hasugian yang banyak membantu saya. Waktu di Jakarta, juga banyak dapat masukan dari Ester Indahyani Yusuf (anggota tim ad hoc Kerusuhan Mei di Komnas HAM, red) yang dedikasinya sangat berkesan buat saya.”


“Pada awalnya tidak pernah terpikir untuk merealisasikan “Memorial Mei 1998” ini. Saat membuat tugas akhir, saya melihatnya sebagai proyek imajinatif, proyek harapan.”


Pertemuan-pertemuan Stephanie berikutnya dengan berbagai orang semakin menguatkan tekadnya. Dia sempat bertemu dengan Joshua Oppenheimer, sutradara film “The Act of Killing” saat pemutaran film di Luebeck, Jerman. Juga berbincang dengan Marco Kusumawidjaja (pakar tata kota, red), Andy Yentriyani (anggota Komnas Perempuan, red) tentang proyek ini.


“Saya senang mendapat respons demikian karena saya ingin “Memorial Mei 1998” menjadi proyek bersama.”


Stephanie kini bekerja sebagai arsitek di sebuah kantor arsitektur di Berlin. Dia terus “bergerilya” mempresentasikan “Memorial Mei 1998” ini di kalangan mahasiswa Indonesia di Berlin. “Saya sedang mencari dukungan dari institusi dan organisasi yang tertarik menyokong dan mensponsori proyek ini.”


Menolak lupa 


Lewat “Memorial Mei 1998” Stephanie ingin mengedepankan aspek pendidikan dan kemanusiaan dari Tragedi Mei 16 tahun silam. Dia yakin kalau ini akan membangun masyarakat dan demokrasi di Indonesia yang lebih matang. 


“Menurut saya Memorial Mei 1998 harus bisa diwujudkan karena ini adalah proyek yang sangat penting bagi kemajuan Indonesia.”


Stephanie merefleksikan juga apa yang terjadi Jerman dengan sejarah masa lalu Nazi-nya. “Pada tahun 1950-an, Jerman Barat menolak mengingat apa yang terjadi di masa lalu pada zaman Hitler,” tulisnya lewat surel yang dikirimkan kepada KBR. Jerman, kata Stephanie, semula tidak menghadapi kesalahan kolektifnya, melainkan meredamnya dengan ekspresi “We knew nothing!” atau “Kami tidak tahu apa-apa.” Semuanya lantas berubah pada era 1960-an ketika keluar legislasi “Politik Masa Lalu”. 


Stephanie mengutip bekas Presiden Republik Federal Richard von Weizsacker soal ini: “....whoever shuts his eyes to the past will be blind in the present” yang artinya “Siapa pun yang menutup mata atas kejadian masa lalu akan menjadi buta saat melihat masa sekarang. 


Karenanya dia menyambut baik rencana Komnas Perempuan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menetapkan sejumlah tempat sebagia titik bersejarah Mei 1998. “Ini adalah kemajuan luar biasa dan menunjukkan bahwa ada harapan untuk mewujudkan “Memorial Mei 1998” di Jakarta.” Apalagi, kata Stephanie, orang Indonesia makin terbuka membicarakan sejarah Mei 1998 dan semakin menghayati pentingnya tidak melupakan sejarah. 


  • Memorial Mei 1998
  • Kerusuhan Mei 1998
  • Tragedi Mei
  • Stephanie Larassati

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!