BERITA

Jamu Jati Kendi, Obat Intoleransi

"Buddha memberi kita jamu."

Antara.
Antara.

KBR, Jakarta - "Buddha memberi kita jamu," kata Heru, pandita Buddha, di Studio TV Tempo, malam itu. "Namanya Jamu Jati Kendi."

Dituntun rasa penasaran, Nanda Hidayat penyiar kali itu bertanya, "Apa itu, Pak?"

Keduanya tertawa sebelum Heru menjelaskan, "Jamu Jati Kendi. Jaga mulut, jaga hati dan kendali diri."

"Jamu yang tidak gampang untuk ditelan ini," timpal Vivi Zabkie, penyiar satunya.

Ketiganya tertawa lagi.

Itulah obrolan yang terjadi dalam perbincangan Agama dan Masyarakat, Rabu (21/5) malam. Kesempatan itu, KBR dan TV Tempo mengundang Heru dan satu temannya, Amin Untario dari Pengurus Pusat Majelis Buddhayana Indonesia. Keduanya beragama Buddha, mereka masih dalam sukacita Waisak pertengahan Mei lalu.

Cerita Jamu Jati Kendi itu keluar setelah Heru ditanya soal konflik lintas agama yang belakangan ramai di Indonesia. Heru percaya meredam konflik dimulai dari diri sendiri. Heru mengatakan, "Kalau kita tidak mau dicubit, jangan mencubit. Sebetulnya prinsipnya gampang."

Konflik lintas-agama jugalah yang mengantarkan masyarakat penganut Buddhisme memilih tema perayaan Waisak kemarin: Brahmavihara untuk kebahagiaan semua makhluk. Empat sifat luhur untuk kebahagiaan manusia, hewan, tumbuhan, semua makhluk tanpa kecuali.

Giliran Amin menjelaskan, "Brahmavihara berisi empat sifat. Metta (cinta kasih) adalah cinta tanpa syarat, karuna (welas asih) seperti membantu manusia dan makhluk yang sedang susah, mudita (simpati) adalah ikut bahagia bila orang lain bahagia, dan sifat upekkha (keseimbangan batin) adalah senang atau sedih tidak berlebihan."
"Ini adalah dasar. Setiap manusia memiliki prinsip, katakanlah hati nurani," tambah Heru.

Heru percaya konflik lintas-agama bisa selesai karena tak ada agama yang mengajarkan kebencian. "Yang menjelekkan agama lain, sebetulnya merusak agama sendiri," katanya.
Heru punya sikap yang sama ketika ada pesan pendek dari pendengar membahas diskriminasi terhadap kelompok muslim Rohingya di Myanmar. Heru mengatakan, "Saya sebagai buddhis tidak bisa membenarkan kekerasan terhadap Rohingya."

Lalu bagaimana semangat Brahmavihara menjamin Indonesia lebih harmonis?

"Hendaknya kita mulai dari diri sendiri. Apa pun agamanya, ada ajaran baik yang harus dikembangkan dari dalam diri sendiri dulu," kata Amin. Amin percaya setiap manusia bisa belajar mengembangkan empat sikap luhur Brahmavihara dari hari ke hari.

Heru juga mengajak warga Indonesia yang beragam agama mengikuti semangat Brahmavihara. Ia mengajak masyarakat tidak gampang tersulut sentimen agama lewat sikap cinta, welas asih, simpati, dan keseimbangan batin.

Dimulai dari Jamu Jati Kendi, sebuah obat bagi intoleransi. Inilah tiga sikap sederhana yang Heru percaya akan menjaga Indonesia, negara yang berisi tidak hanya manusia tapi juga makhluk lain.

Heru menutup, "kami umat Buddha selalu menutup doa dengan ungkapan 'semoga semua makhluk berbahagia'."
Sabbe satta bhavantu sukkhitattha.

Editor: Sutami

  • Waisak
  • Intoleransi
  • Buddha
  • Toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!