NASIONAL

Menjaring Caleg Berkualitas di Pemilu 2024, Tanpa Politik Uang

"KPK mengidentifikasi salah satu penyebab utama korupsi adalah tingginya mahar politik untuk memperbesar peluang kandidat diusung partai politik. "

Muthia Kusuma Wardani

pemilu
Maskot Pemilu meramaikan kirab pemilu di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (6/4/2023). (Foto: ANTARA/Olha Mulalinda)

KBR, Jakarta - Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada 2003, ada lebih dari 340 anggota DPR dan DPRD terjerat kasus rasuah. Selain itu, 23 gubernur dan tak kurang dari 155 wali kota dan bupati juga jadi sasaran penyidikan KPK.

Lembaga antirasuah KPK mengidentifikasi salah satu penyebab utama korupsi adalah tingginya mahar politik untuk memperbesar peluang kandidat diusung partai politik. 

KPK memperkirakan, transaksi di bawah tangan untuk jual-beli suara itu mencapai miliaran rupiah per orang.

Mahar politik juga terjadi pada setiap tingkatan, termasuk biaya pencalonan kepala daerah yang bisa mencapai ratusan miliar rupiah.

Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief mengatakan kandidat yang terpilih karena mahar politik terbukti tidak berkualitas. 

Menurut Amir, mereka tidak memiliki integritas dan kapasitas sebagai pemimpin atau wakil rakyat.

“Tahun lalu bahkan kami bisa curcol itu dari kader partai gitu. 'Pak kami itu kalau kampanye ke daerah katanya rakyat itu langsung hubungi saya ini caleg dhuafa atau tidak, Pak,' karena saya harus membiayai politik yang begitu tinggi akhirnya ya rakyat akhirnya begitu. Dia memilih-milih yang isi tasnya lebih tebal gitu daripada yang mampu memberikan janji program yang lebih menjanjikan bagi pembangunan masyarakat. Ternyata isi tasnya lebih tebal dan lebih menjanjikan daripada integritas individu,” kata Amir saat dalam acara Politik Cerdas Berintegritas (PCB), Jumat, (23/2/2023).

Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief menambahkan, mahar politik juga membuat seseorang terus putar otak mengembalikan modal untuk mengikat restu partai.

Akibatnya, jika caleg itu terpilih, maka akan dilanjutkan pada keputusan yang hanya menguntungkan diri sendiri dan posisinya serta membuka celah untuk korupsi. Efek domino dari mahar politik itu juga dapat merusak demokrasi dan sistem pengkaderan yang ideal.

Baca juga:

Salah satu partai baru peserta Pemilu 2024, Partai Gelora menilai regulasi tentang dana kampanye masih membuka celah untuk korupsi. Baik itu regulasi dalam Undang-Undang tentang Pemilu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) maupun Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu).

Wakil Ketua Umum Parpol Gelora, Fahri Hamzah mengatakan, aturan soal sumber uang calon yang berkontestasi harus diatur ketat dan transparan. Dia mendorong porsi kampanye biaya dari pemerintah harus lebih besar daripada swasta untuk menekan praktik politik uang berkedok balas budi.

“Sekedar untuk mengingatkan saja bahwa kalau Pemilu ini tidak disistematisir lagi sebagai satu pertarungan yang ada aturannya ya, dan aturannya itu harus ada fondasi pemikirannya gitu, sistem demokrasi dan sistem ketatanegaraan, jadwalnya bagaimana ya, kontestasinya apa yang mau diadu dan sebagainya. Dalam demokrasi itu penyelenggaranya itu partai politik atau orang? Yang kayak gitu kalau tidak di-sistematisir lagi ya inilah yang akan terjadi. Pemilu ini adalah 'thai boxing', aturannya longgar, inisiatif orang-perorang tinggi, dan sumber daya yang dimobilisir tidak terbatas. Termasuk sumber daya yang berasal dari orang yang sedang memegang kekuasaan. Ini yang berbahaya menurut saya ke depan,” ucap Fahri Hamzah dalam diskusi Habibie Center, Sabtu, (16/3/2023).

Bekas Wakil Ketua DPR itu yakin praktik politik uang akan mempersempit ruang adu gagasan antarkandidat peserta pemilu. Karena itu, ia menolak sistem pemilu proporsional tertutup.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menilai masalah politik uang saat kontestasi pemilu tak cukup hanya diatasi melalui penegakan hukum, melainkan juga melalui pendekatan kultural.

Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan bahaya gerakan politik uang harus disosialisasikan ke setiap daerah. Oleh karena itu, rayuan memilih calon lewat iming-iming pembagian amplop harus ditolak masyarakat.

“Yang jadi masalah adalah ketika pendekatan sosial kultural enggak jalan itu juga akan berpengaruh terhadap penegakan hukum,” ucap Hasyim Asy'ari saat Kuliah Umum Tata Negara Universitas Diponegoro, Selasa (28/3/2023).

Hasyim mengatakan gerakan kultural bisa menjadi upaya awal menangkal politik uang. Ini juga sekaligus menyadarkan calon pemilu bahwa gagasan lebih penting ketimbang melakukan politik transaksional.

Ia mengingatkan, pemberi dan penerima uang dalam transaksi jual-beli suara sama-sama bisa terkena ancaman pidananya sesuai UU Pemilu.

Dalam penjelasan berbeda, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengungkap cara efektif untuk memberantas politik uang dan mahar politik yaitu membatasi biaya belanja kampanye.

Direktur Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati menegaskan, klarifikasi belanja kampanye itu harus rasional dan realistis. Selain itu, permintaan uang oleh partai politik kepada kontestan pemilu tidak dapat dianggap wajar.

"Akhirnya ada ketergantungan pada pihak ketiga tadi. Dana negara sedikit gitu ya lalu juga iuran anggotanya juga nggak maksimal, apalagi iuran publik. Nah sementara partai butuh biaya yang besar bukan cuma untuk biaya kampanye tapi juga untuk partainya sendiri, kan internal partai mnjalankan organisasi, biaya gedung, pertemuan, rekrutmen, politik pendidikan, itu kan butuh biaya. Bayangkan kalau partai itu setahun cuma bisa 7 juta di tingkat kabupaten/kota, jadi ini dilema," kata Khoirunnisa dalam diskusi Habibie Center, Sabtu, (16/3/2023).

Editor: Agus Luqman

  • politik uang
  • #kabar pemilu KBR
  • Pemilu 2024
  • politik transaksional
  • pengkaderan partai politik
  • calon legislatif

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!