Article Image

NASIONAL

Abing Santoso, Kenalkan Tari Daerah dengan Cara Kekinian

Siswa jurusan seni tari SMK N 12 Surabaya membawakan kesenian reog viral di dunia maya. (Dok: IG Abing Santoso)

KBR, Jakarta - Sebuah video yang menampilkan delapan anak sekolah membawakan kesenian reog mendadak viral, saat isu klaim Malaysia atas reog kembali mengemuka beberapa waktu lalu. 

Abing Santoso, guru honorer seni tari di SMK N 12 Surabaya, adalah sosok kreatif di balik konten itu. Ia tak menyangka mendapat respon positif dari warganet.

“Netizen itu banyak request, secara etnis ga ada hubungannya untuk protes atau apa. Cuma bertepatan aja sama isunya reog itu,” ujar Abing saat dihubungi KBR.

Namun, lelaki kelahiran Jawa Timur ini menyayangkan sikap masyarakat yang cenderung reaktif. Amukan protes baru muncul saat kekayaan budaya bangsa diklaim negara lain.

Wong sebelumnya aja ga mau mencintai dan ga merasa memiliki, tetapi begitu dikembangkan orang lain kok bengok-bengok? itu yang saya mungkin ya ga respect-lah,” katanya.

Baca juga: Sulam Arguci: Jaga Budaya, Berdayakan Warga

Abing menerapkan konsep pembelajaran menyenangkan pada anak didiknya. (Dok: IG Abing Santoso)

Pengetahuan masyarakat tentang Reog memang masih minim. Biasanya sebatas dicirikan dengan penari topeng dadak merak. Padahal pertunjukan Reog melibatkan banyak tarian. Hal itu diungkapkan Yusfia, salah satu siswa yang menari Reog di video Abing.

“Reog Ponorogo itu sama penarinya, termasuk jathil sama ganong, sama warokyang menari sama-sama,” sebut Yusfia.

Siswa SMKN 12 Surabaya ini mendukung jika Reog dipatenkan dan diakui sebagai kekayaan budaya Jawa Timur. Misalnya melalui pengajuan ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

“Reog kan punyanya Ponorogo, Indonesia. Kalau bisa jangan sampai diklaim lagi. Diklaim karena kurang dilestarikan kali ya,” katanya.

Abing juga memandang pentingnya pengakuan dunia atas Reog Ponorogo maupun kesenian lain. Namun, ia punya cara sendiri untuk mendukungnya, yakni lewat konten video.

“Ya harus diajukan ke UNESCO, saya mendukung banget. Tapi kalau harus protes mungkin saya fokus ke diri saya ajalah. Saya sudah lama mencintai seni dan budaya ya di situ,” kata laki-laki berusia 27 tahun ini.

Baca juga: Inisiatif Berbagi Konten Pembelajaran Gratis

Selain sebagai seniman, Abing juga memproduksi seni pertunjukan. (Dok: IG Abing Santoso)

Sejak Februari 2022 Abing aktif membagikan video menarinya di media sosial, termasuk Youtube. Sudah 20-an konten yang diunggah berisi video ia menari bersama murid-muridnya di sekolah. Itu juga bagian dari metode belajar menyenangkan yang diterapkan Abing.

“Seni dan budaya itu ga harus di ruangan, kita harus belajar di lingkungan. Seni budaya itu kan luas. Saya mengimplementasikan pembelajaran (menyenangkan) melalui sosial media dengan membuat konten. Anak-anak jadi tertarik,” ujar Abing.

Cara itu ampuh bagi anak didik Abing. Salah satunya Cindy, siswa kelas 11.

“Beliau selalu memberi wadah kita untuk berkreasi, kita selalu dituntut untuk berkarya. Sistemnya Pak Abing itu bukan menuntut siswanya untuk cerdas,” jelas Cindy.

Saking getolnya, Cindy dan teman-temannya sering berlatih selepas sekolah.

“Yang di video konten itu di luar jam sekolah. Kita senang diajar Pak Abing karena menyenangkan,” katanya.

Baca juga: Lewat Seni Berdayakan Penyandang Skizofrenia

Lebih dari 20 konten video Abing menari bersama murid-muridnya. (Dok: IG Abing Santoso)

Abing pun makin bersemangat melihat antusiasme anak didiknya. Sebab, di tangan merekalah budaya diwariskan dan dilestarikan.

“Kkita sebaiknya menarasikan juga ke generasi selanjutnya, biar ada yang melestarikan, terlebih seni tradisional,” ucap Abing.

Abing berharap kontennya tak hanya dinikmati segelintir orang. Ia ingin membuat seni tari inklusif dan dikenal masyarakat luas.

“Dinikmati untuk universalnya aja, ga khusus untuk versinya orang-orang seniman, atau lingkungan seni, tidak,” pungkasnya.

Dengarkan News Wrap Up episode Abing Santoso, Kenalkan Tari Daerah dengan Cara Kekinian di KBRPrime, Spotify, Google Podcast, dan platfrom mendengarkan podcast lainnya.

Penulis: Valda Kustarini

Editor: Ninik Yuniati