BERITA

Kisruh Telegram Peliputan Media, Kompolnas Minta Polri Berbenah

"Baru sehari berlaku, surat telegram itu akhirnya dicabut usai menuai kritik dan protes dari sejumlah kalangan."

Wahyu Setiawan

Kisruh Telegram Peliputan Media, Kompolnas Minta Polri Berbenah
Kapolri Listyo Sigit Prabowo saat mengunjungi Persis di Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/3/2021). Foto: Antara

KBR, Jakarta- Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) meminta Polri berbenah usai kekisruhan akibat terbitnya surat telegram (ST) mengenai pelaksanaan peliputan media.

Salah satu isinya, Polri melarang media menyiarkan tindakan polisi yang menampilkan arogansi dan kekerasan.

Baru sehari berlaku, surat telegram itu akhirnya dicabut usai menuai kritik dan protes dari sejumlah kalangan.

Anggota Kompolnas Poengky Indarti meminta Polri lebih berhati-hati dalam mengeluarkan aturan, apalagi menyinggung kerja atau kewenangan dari pihak lain.

"Nah, kami berharap ke depannya kalau ada aturan-aturan yang memang krusial dan melibatkan misalnya kewenangan-kewenangan dari institusi lain, mungkin perlu dibicarakan agar tidak terjadi pro kontra. Terutama terkait dengan misalnya kebebasan pers, terkait juga misalnya akuntabilitas dan transparansi publik yang juga harus dilakukan oleh Polri," kata Poengky kepada KBR melalui sambungan telepon, Selasa (6/4/2021).

Anggota Kompolnas Poengky Indarti mengakui telah memberi masukan ke Polri sebelum surat telegram itu dicabut. Kompolnas, kata Poengky, secara langsung menghubungi petinggi Korps Bhayangkara guna menyampaikan bahwa aturan internal itu telah memantik reaksi berlebih. Ia khawatir jika tak dicabut, akan memancing keributan yang tak perlu.

Menurut Poengky, melarang media menyiarkan tindakan arogansi dan kekerasan dari polisi, justru akan menurunkan akuntabilitas dan transparansi Polri. Kompolnas memaklumi jika surat telegram itu mengatur perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.

Kapolri Minta Maaf Soal Telegram

Sebelumnya, Kapolri Listyo Sigit Prabowo meminta maaf atas terbitnya surat telegram mengenai pelaksanaan peliputan media.

Melalui keterangan tertulisnya kepada wartawan, Sigit menyampaikan permintaan maaf dengan kerendahan hati.

"Karena kami Polri juga butuh masukan dan koreksi dari ekternal untuk bisa memperbaiki kekurangan kami. Oleh karena itu, saya sudah perintahkan Kadiv Humas untuk mencabut STR tersebut," ucap Sigit, Selasa (6/4/2021).

"Dan sekali lagi mohon maaf atas terjadinya salah penafsiran yang membuat ketidaknyamanan teman-teman media, sekali lagi kami selalu butuh koreksi dari teman-teman media dan eksternal untuk perbaikan insititusi Polri agar bisa jadi lebih baik," sambungnya.

Sigit mengatakan telegram itu menimbulkan perbedaan penafsiran dengan awak media. Ia berdalih, maksud dari telegram itu bukanlah melarang media meliput arogansi aparat. Melainkan meminta jajarannya tidak bertindak arogan atau menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku.

Sebab setiap gerak-gerik anggota kepolisian selalu disorot masyarakat. Sehingga jika ada satu perbuatan arogan dari oknum polisi, dapat merusak citra Polri.

"Jadi dalam kesempatan ini saya luruskan, anggotanya yang saya minta untuk memperbaiki diri untuk tidak tampil arogan namun memperbaiki diri sehingga tampil tegas, namun tetap terlihat humanis. Bukan melarang media untuk tidak boleh merekam atau mengambil gambar anggota yang arogan atau melakukan pelanggaran," ujar Sigit.

Sebelumnya, surat telegram yang diteken Kadiv Humas Polri Argo Yuwono pada 5 April 2021, memantik protes dan kritik dari sejumlah kalangan. Mulai dari Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen, hingga LSM Kontras. Telegram Kapolri Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5/2021 itu dinilai berbahaya dan mengancam kebebasan pers.

Editor: Sindu Dharmawan

  • Telegram Kapolri
  • STR
  • Mabes Polri
  • Pers
  • kebebasan pers
  • Kompolnas
  • Polisi
  • Polri

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!