KBR, Jakarta- Kuasa Hukum enam tapol Papua belum mengambil sikap apakah akan banding atau tidak atas putusan majelis hakim yang memvonis rata-rata 9 bulan penjara. Kuasa hukum Surya Anta Ginting CS, Michael Hilman mengatakan, putusan itu tidak adil karena majelis hakim menilai hal yang memberatkan para terdakwa adalah membawa bendera bintang kejora dan menyuarakan yel-yel yang diasosiasikan sebagai sikap makar.
Kata dia, tindakan para terdakwa bendera itu ialah bagian dari kultural masyarakat Papua yang memiliki otonomi khusus
"Putusan hakim tidak fair dalam arti dia tidak melihat ketika dia mengakui otonomi khusus, hakim dalam putusannya kawan mahasiswa Papua ini harus mendukung kebijakan otonomi khusus dari pemerintah pusat ke daerah. Seharusnya hakim berpikir bahwa kebijakan adanya otonomi khusus inilah bahwa ada bendera kultural orang Papua," ucap Michael saat dihubungi KBR, Jumat, (24/2/2020).
Majelis hakim memutuskan keenam tapol Papua bersalah karena telah terbukti melakukan makar saat menggelar unjuk rasa di area Istana Kepresidenan Jakarta dengan mengenakan beberapa atribut dan yel-yel. Unjuk rasa itu merupakan bentuk protes para mahasiswa atas aksi rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 28 Agustus 2019 lalu.
"Arina Elopere diputuskan bersalah dan divonis 9 bulan kurungan penjara dipotong masa tahanan. Dano Tabuni diputuskan bersalah dan divonis 9 bulan kurungan penjara. Sama dengan Arina," ucap Michael.
Putusan yang sama juga dikenakan untuk Surya Anta, Ambrosius Mulait, dan Charles Kossay yaitu vonis 9 bulan penjara. Sementara Isay Wenda diputuskan bersalah dan divonis 8 bulan penjara.
Baca juga: Aktivis: 243 Warga Tewas Akibat Konflik Nduga, Mayoritas Anak-Anak
Editor: Rony Sitanggang