KBR, Jakarta - Polri memerintahkan jajarannya memantau penghinaan penguasa terkait Covid-19, mulai awal April 2020
Perintah itu tertuang dalam Surat Telegram Kapolri bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020, yang salah satu poinnya berbunyi:
Melaksanakan patroli siber untuk monitoring perkembangan situasi, serta opini di ruang siber, dengan sasaran:
- Penyebaran hoax terkait Covid-19;
- Hoax terkait kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah Covid-19;
- Penghinaan kepada penguasa/presiden dan pejabat pemerintah;
- Praktik penipuan penjualan online alat-alat kesehatan, masker, APD, antiseptik, obat-obatan dan disinfektan.
Berita Terkait: Pemidanaan Penghina Presiden, Komnas HAM: Terlalu Berlebihan
Jangan Bungkam Kritik di Tengah Pandemi
Surat Telegram Kapolri itu lantas dikecam oleh Reporters Without Borders (RSF), organisasi jurnalis lintas negara untuk kebebasan pers.
RSF menilai kebijakan itu berbahaya karena rawan diselewengkan untuk membungkam kritik terkait penanganan Covid-19.
“Dalam arahan (Surat Telegram) itu, Kepolisian Indonesia memanfaatkan pemberantasan disinformasi terkait pandemi Covid-19 untuk mengendalikan jurnalis, yang mungkin ingin memublikasikan informasi bermuatan kritik terhadap Presiden Joko Widodo atau jajarannya,” kata Kepala RSF Asia-Pasifik Daniel Bastard di situs resminya pekan lalu (16/4/2020).
“Ini merupakan pelanggaran kebebasan pers yang tidak dapat ditoleransi, yang harusnya dijamin Pasal 28 UUD 1945. Kami mendesak polisi agar membiarkan wartawan bekerja secara bebas, sehingga mereka dapat menyediakan liputan berita yang bermutu dan independen, yang sangat dibutuhkan di masa pandemi ini," tegasnya lagi.
Menurut penilaian RSF, sampai tahun 2020 kondisi kebebasan pers Indonesia masih cukup buruk, hingga menempati peringkat 119 dari 180 negara.
RSF menyebut contoh hambatan kebebasan pers di Indonesia ialah adanya pasal hukum terkait penghinaan pejabat serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Editor: Sindu Dharmawan