KBR, Jakarta- Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, mendesak Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk segera memecat Aparatur Sipil Negara (ASN) terpidana korupsi sebelum masa tenggat yang ditentukan Pemerintah yaitu 30 April 2019. Peneliti Pukat, Yuris Reza Setiawan menilai pemecatan ASN koruptor memakan waktu yang sangat lama dari segi administratif.
Kata dia, selama ini belum ada sanksi bagi PPK yang tak memecat ASN koruptor. Yuris mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemecatan terhadap koruptor memiliki kekuatan hukum tetap yang sah dan konstitusional.
Ia menyarankan agar pemerintah mengumumkan nama Kementerian, Lembaga atau Pemerintah Daerah yang tak patuh melakukan kewajibannya untuk memecat ASN terpidana korupsi. Ia menilai hal tersebut dilakukan agar masyarakat bisa mengetahui secara langsung dan turut mendesak agar pemecatan tersebut segera dilakukan,
"Masing-masing yang bertanggung jawab baik itu Kepala Daerah, Menteri maupun Kepala Lembaga atau mungkin Pejabat Pembina Kepegawaian yang berwenang seharusnya sudah secara sadar untuk kemudian melakukan pemecatan,segera memproses pemecatan itu. Saya kira harus diumumkan sehingga publik bisa ikut mendorong misalnya di pemerintah daerah di suatu wilayah begitu artinya publik di situ tahu bahwa pemerintah daerah tersebut belum bergerak cepat untuk memecat koruptor sehingga bisa dibantu oleh publik untuk mendorong itu," kata Yuris pada KBR, Minggu (28/4/19).
Selain itu, Yuris juga ingin pemerintah memastikan enam puluh persen dari keseluruhan jumlah ASN koruptor yang didata Kemendagri namun belum dipecat hingga saat ini, untuk segera diberikan surat pemecatannya. Yuris juga berharap putusan MK soal ASN koruptor tersebut bisa mendorong PPK agar bergerak cepat dan memecat ASN terpidana korupsi yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Sebelum putusan MK ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah meneken surat keputusan bersama terkait pemecatan ASN berstatus koruptor. SKB tersebut secara umum mengatur pemberhentian tidak hormat para ASN yang terlibat korupsi.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat akan menindaklanjuti instruksi pemecatan terhadap Aparatur Sipil Negara yang terlibat kasus korupsi dan telah mendapatkan keputusan tetap dari pengadilan atau inkracht. Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Kalbar, Syarif Kamaruzzaman menyerahkan pemecatan kepada PPK di masing-masing kabupaten/kota. Sementara untuk Pemerintah Provinsi, laporan pemecatan telah ditindaklanjuti dengan mendata ASN yang terlibat korupsi dan keputusan pengadilannya mengikat.
"Pecat, karena sudah ada SKB 3 menteri. Jika memang ada peninjauan ke MK, itu urusan yang lain, karena itu kan perintah. Ada 2000an sekian. Jangankan yang sudah inkrah, yang ketahuan bermain-main, akan langsung dicopot, karena itulah kelebihan Pejabat Pembina Kepegawaian, dan Gubernur tidak main-main dengan itu," tegasnya kepada KBR.
Syarif menambahkan, tercatat sekitar 50 an pejabat di seluruh Kalbar yang terlibat kasus korupsi dan telah mendapatkan keputusan pengadilan yang tetap.
Perkara Hendrik tersebut teregistrasi dengan nomor 87/PUU-XVI/2018. Pengaju mempersoalkan kata "dapat" dalam ayat 2 yang berbunyi "PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana".
Sedangkan Pasal 87 ayat (4) huruf b dan d dipersoalkan karena tak memuat jenis pidana yang dilakukan. Huruf b berbunyi "dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan atau pidana umum". Sedangkan huruf d berbunyi, "dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana". MK membuang kata "dan atau pidana umum" dan menyatakan frassa itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Editor: Rony Sitanggang