NASIONAL
Larang Warga Non-Muslim Tinggal, Ini Kata Bupati Bantul
""Maaf sebelumnya di sini keputusan warga sepakat baik berdomisili, kontrak, dan kos untuk nonmuslim dilarang,""
KBR, Jakarta- Bupati Bantul Suharsono akan mencabut aturan yang melarang penghuni nonmuslim tinggal di wilayah Dusun Karet, Desa Pleret, Jogjakarta. Suharsono menilai peraturan itu menyalahi perundang-undangan dan Pancasila , karena tidak menghormati dan menghargai perbedaan ras, suku, dan agama.
Suharsono mengatakan tidak mengetahui peraturan yang dibuat pada 2015 tersebut, karena saat itu ia masih menjabat di kepolisian.
"Saya mau menyadarkan walaupun ini mayoritas Islam semua tapi tidak ada larangan nonmuslim tinggal di sini. Karena apa? Selama agama itu diakui legalitasnya oleh pemerintah karena ada dasar hukumnya berarti kalau anda melarang, (maka) melanggar hukum," Kata Suharsono dihubungi KBR Rabu (3/4).
Bupati Bantul Suharsono menambahkan warga tidak memiliki hak untuk melarang orang untuk tinggal hanya karena berbeda keyakinan. Suharsono akan mengajak perangkat desa dan masyarakat untuk bertemu serta memberi pengarahan bahwa aturan yang dibuat adalah salah dan harus diperbaiki.
Sebelumnya Slamet Jumiarto (42), ditolak mengontrak rumah
di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta. Penolakan lantaran dirinya beragama Katolik dan istrinya Kristen Protestan.
Kata Slamet,
penolakan itu didasari adanya aturan dari Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa, Kelompok Kegiatan (Pokgiat) tentang persyaratan
pendatang baru. Dia menuturkan, dalam aturan itu disebutkan,
jika pendatang baru wajib beragama Islam, sehingga keluarganya yang
beragama Katolik dan Kristen protestan, ditolak untuk tinggal di
kawasan itu.
"Tanggal 30 (Maret) saya sudah pindah di sini sekeluarga. Kemudian hari
minggunya tanggal 31 (Maret), saya laporan ke RT antar surat nikah, KK
dan KTP, begitu dicek sama RT nya kok Kristen dan Katolik. Kemudian pak
RT bilang agak bagaimana belum bisa memutuskan bisa tinggal di sini atau
tidak. Saya tanya kenapa alasannya? Dia jawab, maaf sebelumnya di sini
keputusan warga sepakat baik berdomisili, kontrak, dan kos untuk nonmuslim dilarang," kata Slamet kepada KBR, Selasa (2/4/2019).
Slamet Jumiarto mengaku telah ada mediasi dari berbagai pihak, baik dari
kecamatan, pedukuhan, maupun Kesbangpol setempat. Kata dia, dari
kesepakatan itu, dia diperbolehkan tinggal sementara hingga sang pemilik
kontrakan dapat mengganti uang kontrakan yang telah disetorkan, ataupun
mendapat orang lain yang ingin alih sewa.
Slamet menyebut, dirinya saat ini masih bertahan di rumah kontrakan tersebut, lantaran dirinya belum mendapat biaya ganti rugi sewa rumah. Dia mengatakan, telah melihat aturan Penolakan warga pendatang beda keyakinan ini, atas penjelasan Kepala Dusun Karet Iswanto.
Dalam aturan atau Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015
memutuskan syarat-syarat bagi pendatang baru di Pedukuhan Pleret di
antaranya adalah bersifat nonmateri, bersifat material, dan sanksi.
Yang bersifat non-materi adalah:
- Pendatang baru harus Islam. Islam yang dimaksud adalah sama dengan yang dianut oleh penduduk Pedukuhan Karet yang sudah ada.
- Tidak mengurangi rasa hormat, penduduk Pedukuhan Karet keberatan
untuk menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau
agama non-original seperti yang dimaksud ayat 1.
- Bersedia mengikuti ketentuan adat dan budaya lingkungan seperti yang
sudah tertata seperti: Peringatan keagamaan, gotong royong, keamanan
lingkungan, kebersihan lingkungan dan lain-lain.
- Bagi yang pendatang baru baik yang menetap atau kontrak/indekos wajib
menunjukkan identitas kependudukan asli dan menyerahkan fotokopiannya.
Yang bersifat materi bagi pendatang baru yang menetap dikenakan biaya
administrasi sebesar Rp1.000.000 dengan ketentuan Rp600.000 masuk kas
kampung melalui kelompok kegiatan Pedukuhan Karet dan Rp400.000 masuk
kas RT setempat.
Surat keputusan itu juga mengatur tentang saksi berupa teguran secara lisan, teguran tertulis, dan diusir atau dikeluarkan dari wilayah Pedukuhan Karet.
SK tersebut ditandatangani Kepala Dusun Karet
Iswanto dan Ketua Pokgiat Ahmad Sudarmi. Ditemui KBR pada Rabu (03/04) Iswanto enggan diwawancarai.
Direktur Setara Institute Halili menilai penyebab meningkatnya intoleransi tinggi di Yogyakarta karena masih adanya peraturan-peraturan yang mendiskriminasi minoritas.
"Yang barangkali tidak kita pikirkan selama ini adalah memeriksa apakah seluruh aturan yang berpotensi mempengaruhi relasi antaragama itu, kita tidak pikirkan itu, kita tidak pernah cek. Sampai akhirnya kita terkaget-kaget 'oh ternyata ada peraturan di level RT yang ternyata melarang agama yang berbeda dengan mayoritas di RT itu untuk masuk ke RT itu. Ternyata ada," ucap Halili kepada KBR, Rabu, (19/04/03).
Selain peraturan diskriminatif yang memicu adanya gesekan antarpenganut agama, Halili juga menilai kurangnya ruang terbuka untuk publik dapat menimbulkan tingginya kecemasan terhadap orang lain yang memiliki perbedaan keyakinan. Halili juga mencermati modernisasi di Yogyakarta, mengikis interaksi sosial pada daerah tersebut. Budaya Yogyakarta yang semakin membuat seseorang mengurangi perjumpaan dan relasi bersama orang lain.
Setara mencatat, Yogyakarta kembali menduduki 10 besar dengan peristiwa intoleransi tertinggi. Yogyakarta ada pada posisi enam lantaran berungkali peristiwa intoleran terjadi di daerah tersebut. Selain keluarga Slamet di Desa Pleret, ada pula peristiwa mencederai kebhinekaan seperti pemotongan Salib pada nisan salah seorang warga di Yogyakarta dan perusakan sedekah laut di Bantul.
Baca Juga:
Meski Dirusak, Sedekah Laut Tetap Berlanjut
Komnas HAM: Pemda Harus Sediakan Pemakaman Umum yang Tidak Menyulitkan Minoritas Editor: Rony Sitanggang
- intoleransi
- setara
- nonmuslim
- Setara Institute
Komentar (0)
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!