HEADLINE

Putusan Praperadilan Kasus Century, JK: Biarkan Proses Berjalan

Putusan Praperadilan Kasus Century, JK: Biarkan Proses Berjalan

KBR, Jakarta - Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) terkait skandal korupsi Bank Century, mengundang komentar Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam catatan amar putusan, hakim tunggal Effendi Mukhtar memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan proses hukum dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan sebagaimana yang disebut dalam dakwaan Budi Mulya.

Meski belum membaca detail putusan, Kalla menyebut perintah hakim yang meminta KPK untuk menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka itu sebagai putusan yang aneh. Karena menurutnya putusan semacam ini jarang terjadi.

"Bagi saya aneh juga itu. Jarang ada seperti itu. Biasanya, praperadilan itu ada perkara yang sedang berlangsung, kemudian dipraperadilankan. Kok perkara sudah, katakanlah putus, kok diperkarakan, bagaimana?" tanya JK balik ketika dimintai tanggapan di kantornya, Jakarta, Rabu (11/4/2018).

"Bagi saya bukan ahli hukum, tapi (putusan ini) tidak jelas, berbeda dari biasanya," imbuhnya.

Namun begitu Kalla menyatakan tetap menghormati setiap keputusan pengadilan dan meminta masyarakat bersikap serupa. Sembari, meminta publik menunggu proses hukum yang sedang berjalan.

"Kita harus menghormati hukum, tapi hukum juga harus jelas, kenapa terjadi putusan demikian."

Pada 2010-2013 KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan korupsi pemberian dana talangan kepada Bank Century melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Dalam kasus ini, pada 2014 silam hakim pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Budi Mulya dengan hukuman 10 tahun penjara.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/12-2017/2018__kpk_fokus_garap_kasus_pelindo_ii__century/94197.html">2018, Korupsi Century Masuk Kasus yang Fokus Digarap KPK</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/berita/06-2016/kasus_century_dan_pelindo_ii__pemerintah_minta_menteri_kehakiman_cina_bantu/82315.html"><b>Kasus Century dan Pelindo II, Pemerintah Minta Bantuan Menteri Kehakiman Cina</b></a>&nbsp;<br>
    

Namun lantas April 2015, jaksa KPK mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Saat itu, sidang dengan Ketua Majelis Hakim Artidjo Alkostar serta anggota Muhammad Askin dan MS. Lumme memutuskan memperberat hukuman Budi Mulya menjadi 15 tahun penjara. 

Dalam berkas dakwaan Budi Mulya yang juga dilampirkan sebagai salah satu bukti permohonan praperadilan ini, nama lain seperti Boediono, Miranda Swaray Goeltom, Siti Chalimah Fadjriah, Budi Rochadi, Muliaman Darmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono, Ardhayadi Mitroatmodjo, Raden Pardede disebut telah melakukan atau turut serta melakukan. Beberapa di antaranya seperti Siti Fajriyah dan Budi Rochadi sudah meninggal.

Saat perkara ini terjadi, Budi Mulya menjabat Deputi Gubernur Bank Indonesia. Sementara Boediono kala itu sebagai Gubernur Bank Indonesia, Muliaman Hadad sebagai Deputi Gubernur BI dan, Raden Pardede selaku Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSKK).


Pertimbangan Hakim Praperadilan

Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Effendi Mukhtar dalam putusan 9 April 2018 mengabulkan praperadilan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) yang diwakili Boyamin, Komaryono dan Rizky Dwi Cahyo terkait penghentian penyidikan kasus korupsi Bank Century. Catatan dalam amar putusan memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan Budi Mulya.

Terdapat sejumlah alasan yang mendasari MAKI mengajukan gugatan pada Maret 2018. Di antaranya penanganan perkara korupsi Bank Century yang dianggap berlarut-larut dan belum adanya penetapan tersangka baru. MAKI menilai tindakan itu sebagai penghentian penyidikan korupsi Bank Century, mengingat kasus eks Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya telah inkraht atau berkekuatan hukum tetap sejak 2015. Maka mestinya, masih menurut MAKI, siapapun pejabat lain dari Bank Indonesia termasuk Boediono, Muliaman Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan yang menyetujui penetapan Bank Century sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik harus dinyatakan sebagai tersangka dan diproses di Pengadilan Tipikor.

Pun dengan Zaenal Abidin, Pahla Santoso dan Heru Kristiyana yang diduga terlibat dalam proses penyimpangan dalam pengawasan Bank Century sehingga menimbulkan persetujuan pengucuran FPJP yang merugikan negara.

Baca juga:

Menanggapi dalil dalam gugatan itu, KPK melalui kuasa hukumnya pada 2 April 2018 menjawab dengan menyatakan bahwa permohonan praperadilan telah memasuki materi perkara. KPK juga menyatakan tidak pernah menghentikan penyidikan atas perkara dugaan korupsi dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) untuk Bank Century. Terlebih, Undang-undang KPK pasal 40 mengatur bahwa lembaga antirasuah itu tak berwenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

"Putusan MA yang berkekuatan hukum tetap tidak serta merta dapat dilanjutkan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dan tidak secara otomatis," tulis tanggapan KPK dalam berkas putusan praperadilan yang dirilis melalui laman resmi direktori putusan pengadilan.

"Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan perlu dilakukan pendalaman dan analisa lebih lanjut. Dan sampai saat ini, termohon (KPK) masih mengumpulkan bahan dan keterangan untuk mendalami dan menganalisa perkara Bank Century," lanjut tanggapan KPK tersebut.

Namun Hakim Tunggal Effendi Mukhtar menilai, permohonan praperadilan tersebut belum memasuki materi perkara. Dalam pertimbangannya Effendi berpendapat, sesuai KUHAP dan Perma Nomor 4 tahun 2016, hakim praperadilan tidak memasuki perkara dengan menentukan bersalah atau tidaknya para terdakwa. Tetapi lanjutnya, hanya akan menguji dakwaan yang disusun KPK dengan mengikutsertakan beberapa nama orang yang disebut dalam dakwaan Budi Mulya berdasar teori hukum.

"Apakah harus diperlakukan sama dengan terdakwa lain yang sudah diputus hakim dan dinyatakan bersalah serta berkekuatan hukum tetap, atau pencantuman nama-nama lainnya itu hanya suatu formalitas belaka dan tidak punya arti apa-apa sehingga tidak perlu dilakukan penuntutan," bunyi petikan dalam poin pertimbangan hukum.

Dalam pertimbangan hukum, Hakim Effendi juga menyinggung soal kepastian status orang-orang yang disebut dalam dakwaan Budi Mulya. Kalaupun KPK tak berwenang mengeluarkan SP3 menurutnya, harus ada penjelasan secara hukum.

"Apakah (nama-nama) itu akan diteruskan atau dikeluarkan dari dakwaan tersebut."

Selain memerintahkan untuk melanjutkan proses hukum, amar putusan hakim Effendi juga memberikan pilihan kepada KPK untuk melimpahkan kasus ini ke kepolisian dan atau kejaksaan. Berkaitan dengan kelanjutan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. 

"Daripada KPK digugat praperadilan berkali-kali dan selalu menjawab dengan jawaban yang sama bahwa KPK masih mendalami dan mengumpulkan bukti karena tak bisa menerbitkan SP3 yang waktunya tak jelas, dan sampai saat ini sudah tiga tahun sejak perkara Budi Mulya berkekuatan hukum tetap," demikian bunyi petikan pertimbangan hakim.

"Maka lebih terhormat dan elegan bila KPK melimpahkan perkara tersebut ke penuntut umum atau kepolisian sesuai ayat 5, kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan ke KPK," lanjut petikan Hakim Effendi.

Dugaan Pelanggaran Etik Hakim Effendi?

Terkait putusan praperadilan kasus korupsi Bank Century tersebut, Komisi Yudisial tengah memeriksa ada tidaknya dugaan pelanggaran etik oleh hakim. Kini kata juru bicara KY Farid Wajdi, proses masih dalam tahap persiapan registrasi pelaporan. Kalaupun nantinya tak ada pengaduan dari masyarakat atau pihak lain, menurutnya jika memang ditemukan indikasi pelanggaran etik maka KY tetap bisa menindaklanjuti.

"Jadi nanti berangkatnya dari informasi, bukan dari pelaporan. Itu juga bisa."

Farid menuturkan, KY akan memprioritakan pengkajian putusan Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan Effendi Mukhtar tersebut. Langkah ini dilakukan untuk memastikan terbukti atau tidaknya dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara.

"Ini kan sekarang masih proses kajian terhadap putusan, apakah dalam proses pembuatan putusan itu ada atau tidak dugaan pelanggaran etik. Sebelum diregistrasi kan kami lihat apakah ada bukti yang mendukung, lalu saksi bagaimana," terang Farid saat dihubungi KBR, Rabu (11/4/2018).

Proses penanganan sidang etik ini menurut Farid, paling lambat memakan waktu 60 hari kerja sejak laporan diregistrasi oleh KY. Setelah terdaftar, sidang panel hakim akan memutuskan kelayakan laporan untuk ditindaklanjuti. Termasuk, kemungkinan memeriksa hakim yang bersangkutan.

"Bisa dipanggil atau didatangi. Tapi tahapan memanggil hakim masih panjang. Tapi kalau ada dugaan pelanggaran kode etik, tentu akan sampai memanggil hakim. Sebelumnya mengumpulkan bukti dulu, lalu pemeriksaan saksi."

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/01-2017/dpr_ke_kpk__kinerja_sudah_baik__tapi_masih_di_kasus_kasus_kecil/88210.html">DPR Ingatkan KPK Selesaikan Kasus-kasus Besar</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/berita/03-2013/sebelum_ditalangi__banyak_transaksi_janggal_di_bank_century/33670.html"><b>Sebelum Ditalangi, Banyak Transaksi Janggal di Century</b></a>&nbsp;<br>
    

Namun begitu, Farid menekankan, pembuktian dugaan pelanggaran etik sangat bergantung pada kemauan para saksi dan dukungan bukti. Sebab kata dia, dalam proses ini tidak ada upaya hukum paksa.

Ia mengatakan, dalam perkara ini, KY tak berwenang menilai salah atau benarnya substansi putusan Hakim Tunggal Effendi Mukhtar. Farid menambahkan, ranah putusan lembaganya hanya berkaitan dengan kode etik hakim.

"Yang kami lakukan pendekatan etika. Misalnya, apakah dalam pengambilan keputusan hakim tidak dalam posisi netral. Atau, kalau kemudian misalnya bertemu pihak-pihak yang ada dalam proses persidangan kecuali dalam sidang."

Farid melanjutkan, KY berharap agar para hakim tidak hanya menegakkan independensi melainkan juga memastikan akuntabilitas dalam mengemban tugas. Sehingga putusan yang dibuat hakim betul-betul dapat dipertanggungjawabkan.

"Setiap putusan harus bisa dipertanggungjawabkan kepada dirinya sendiri, institusi, publik dan Tuhan Yang Maha Kuasa."



Editor: Nurika Manan

  • century
  • korupsi century
  • KPK
  • Boediono
  • Wakil Presiden
  • Wapres

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!