BERITA

Kajian UI: Segera Amandemen UU Cukai Agar Peroleh Harga Rokok Ideal

"Selama empat tahun terakhir pemerintah belum pernah menjajal upaya menaikkan cukai pada angka tertinggi yang diatur oleh Undang-undang Cukai, yaitu 57 persen."

Vivi S Zabkie

Kajian UI: Segera Amandemen UU Cukai Agar Peroleh Harga Rokok Ideal
Petugas Bea Cukai memperlihatkan rokok ilegal hasil sitaan di Kantor Bea Cukai Sulawesi Selatan di Makassar, Senin (10/4/2017). (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Kajian dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (Center for Health Economics and Policy Studies/CHEPS-UI) menunjukkan kisaran ideal kenaikan harga rokok di Indonesia berada dalam rentang 150 persen sampai 270 persen dari harga saat ini.

Kesimpulan ini diambil lembaga ini saat mengkaji harga rokok ideal dan mempublikasikan hasil kajiannya Kamis (13/4/2017) di Jakarta.


Harga rokok ideal yang dimaksud CHEPS-UI adalah harga rokok yang mampu memberikan dampak optimal terhadap penurunan konsumsi dan kenaikan pendapatan negara, namun harga itu tidak menjadi pemicu angka inflasi dan kemiskinan.


Pada rentang kenaikan itu, menurut kajian CHEPS-UI, akan didapatkan "win-win solutions" antara pemerintah yang berkewajiban melindungi kesehatan warganya dengan kepentingan industri.


"Dengan mempertimbangkan pola konsumsi rokok, pendapatan negara dari cukai rokok, pendapatan industri, serta angka kemiskinan maka kisaran ideal kenaikan harga rokok pada angka itu," kata Kepala Cheps UI Budi Hidayat.


Apabila rata-rata kenaikan rokok mencapai 150 persen---rentang terendah---dari rata-rata harga rokok sebesar Rp12.639 per bungkus menjadi Rp31.590 per bungkus maka dampak yang akan diraih adalah prevalensi perokok turun 0,84 persen yaitu sekitar 21,62 persen (55,10 juta) menjadi 20.05 persen (51,12 juta).


Selain itu negara bisa mendapatkan kenaikan pendapatan cukai dari Rp132,6 triliun menjadi Rp330 triliun. Di sisi lain, terlihat industri tetap bisa menikmati pemasukan mencapai dua kali lipat dari income yang diterima pemerintah.  


Baca juga:


Penelitian CHEPS UI juga menunjukkan selama empat tahun terakhir pemerintah belum pernah menjajal upaya menaikkan cukai pada angka tertinggi yang diatur oleh Undang-undang Cukai, yaitu 57 persen.


"Rata-rata kenaikan cukai tahunan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut adalah 43 persen dari HJE, atau berkisar dalam rentang 44,4 hingga 51,4 persen," jelasnya.


Budi Hidayat juga mengkritik pemerintah yang dianggap kehilangan momentum menaikkan harga rokok dan cukainya, saat hangat perbincangan menaikkan harga rokok per bungkus akan naik Rp50.000 pada Agustus tahun lalu. Saat itu cukup banyak masyarakat yang mendukung penaikan harga rokok.


Lembaga CHEPS UI merekomendasikan kepada pemerintah agar mengamendemen Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, khususnya klausul yang mengatur batas maksimum cukai terhadap Harga Jual Eceran (HJE). Upaya ini akan menuai dua keuntungan. Pertama akan menyelamatkan warga negara melalui pengendalian konsumsi produk hasil olehan tembakau, dan kedua akan menambah ruang fiskal bagi pemerintah.


"Pemberlakuan harga rokok ideal tampaknya sulit diberlakukan jika mengacu pada regulasi UU Cukai. Pada pasal 5 UU Cukai menyebut cukai produk hasil olahan tembakau maksimal 57 persen dari nilai harga jual eceran," demikian kesimpulan dari kajian CHEPS UI.


Mengacu data CHEPS UI, prevalensi perokok pada 2015 adalah 21,6 persen. Sementara belanja rokok menempati urutan tertinggi kedua setelah belanja beras. Porsi belanja rokok terhadap total pendapatan rumah tangga mencapai 11,9 persen.


Meski prevalensi perokok penduduk miskin sebesar 15,7 persen lebih kecil dibandingkan penduduk kaya (sebesar 22,4 persen), namun porsi belanja rokok terhadap pendapatan pada dua kelompok itu hanya beda tipis, yaitu 11,7 persen pada kelompok miskin dan 11,9 persen pada penduduk kaya.


CHEPS UI menyebutkan rata-rata harga rokok per batang ketika angka kemiskinan 11,22 persen adalah Rp1,053 per batang. Berdasarkan simulasi, ketika harga rokok naik 113 perse (dari Rp1.053 per batang menjadi Rp2.243 per batang), maka rata-rata tal belanja rumah tangga akan tetap sama.


"Dengan demikian kenaikan harga rokok minimal 113 persen tidak berimplikasi terhadap angka kemiskinan. Artinya, angka kemiskinan akan tetap berada di level 11,22 persen. Angka kemiskinan justru naik ketika kenaikan harga rokok kurang dari 113 persen," sebut CHEPS UI.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • harga rokok
  • Harga Jual Eceran
  • cukai rokok
  • tembakau
  • produk tembakau
  • Undang-undang Cukai
  • harga rokok naik

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!