BERITA

Simposium Tragedi 1965, Harkristuti: Rekonsiliasi Tidak Bisa Instan

"Dia terus mendorong RUU KKR yang sudah dirancang dan masuk prolegnas 2015 untuk segera disahkan."

Sasmito

Simposium Tragedi 1965, Harkristuti: Rekonsiliasi Tidak Bisa Instan
Pakar hukum Harkristuti Harkrisnowo. Foto: KBR

KBR, Jakarta- Ahli hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo menyesalkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengugurkan Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara di simposium tragedi 1965 hari ini (19/4/2016).

Menurutnya, akibat pengguguran UU tersebut sejumlah peristiwa pelanggaran HAM pada masa lalu tidak tuntas, termasuk kejahatan HAM 1965.  "Rekonsiliasi itu tidak ada proses instan, seperti mie instan dan instan lainnya jadi harus sabar. Coba tahun 2007 tidak dihentikan , kita sudah mendapat hasilnya," ujarnya.

Ia menilai pengguguran UU KKR karena ada salah pemahaman MK terhadap UU tersebut. Karena itu, saat ini, ia terus mendorong RUU KKR yang sudah dirancang dan masuk prolegnas 2015 untuk segera disahkan.

"UU KKR ini bukan mekanisme hukum. Dan dikatakan MK adalah penekanan tanggung jawab pelaku, itu urusan pengadilan bukan KKR. MK juga menganggap KKR sebagai solusi, ini negara melalui komisi melakukan pengngkapan kebenaran dan rekonsiliasi. ada miss konsepsi ini setara dengan hukum," imbuhnya.

Sementara terkait konsep rekonsiliasi, Harkristuti setuju dengan usulan Ketua Panitia Pengarah Simposium 65 Agus Widjojo yang menyatakan rekonsiliasi dilakukan secara nasional, bukan antar individu yang berkaitan dengan tragedi 1965.

"Saya sepakat rekonsiliasi bukan untuk terduga pelaku dengan korban. Karena idenya kolektivitas, bukan satu persatu. saya ngeri membayangkan kalau satu terduga pelaku berhadapan dengan korban. kemudian anak cucunya akan bilang kenapa maafkan dia," tegasnya.

Selain itu, menurutnya negara harus melakukan perbaikan atas korban-korban tragedi 1965. Semisal dengan memberikan benefit atau manfaat kepada korban tragedi 1965. Sehingga pada masa mendatang, kata dia, masyarakat bisa lebih memahami pelanggaran HAM pada masa lalu.  "Dan bagi korban bisa berdamai dengan diri sendiri dan orang lain." pungkasnya.

Editor: Malika  

  • simposium65
  • Harkristuti Harkrisnowo
  • tragedi65

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!