BERITA

FITRA: Tax Amnesty Bukti Pemerintah Tunduk Pada Pengusaha Hitam

"Ini adalah karpet merah (sambutan kehormatan) bagi konglomerasi hitam, koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi," tulis FITRA."

FITRA: Tax Amnesty Bukti Pemerintah Tunduk Pada Pengusaha  Hitam
Ilustrasi pajak. (Diolah dari sumber foto: pajak.go.id)

KBR - LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyayangkan sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terus berupaya menggolkan Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak atau tax amnesty.

FITRA mendesak Presiden Joko Widodo dan DPR membatalkan rencana pembahasan dan pengesahan RUU Tax Amnesty.

Kritikan itu terkait dengan keputusan pemerintah yang dianggap mengejutkan, karena membolehkan pelaku korupsi memanfaatkan fasilitas tax amnesty dan, akan dilindungi datanya dari penegak hukum.

"(FITRA) Menyayangkan sikap Presiden yang cenderung pro terhadap RUU Tax Amnesty dengan tidak mempertimbangkan unsur dana hasil korupsi dalam negeri yang ditimbun di luar negeri," demikian sikap FITRA yang diterima redaksi KBR, Selasa (26/4).

Keputusan kontroversial pemerintah itu dihasilkan dalam Rapat Kabinet Terbatas  di Istana Kepresidenan, awal pekan ini. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah akan menjamin data calon peserta pengguna manfaat tax amnesty, meski dana yang disimpan di luar negeri berasal dari praktik korupsi.

"Data itu tidak bisa dijadikan bukti permulaan penyelidikan dan penyidikan kasus hukum. Tapi itu tidak berarti menghilangkan pidananya. Kalau dia kebetulan ditangkap karena pidana lain, tax amnesty tidak bisa mengampuni pidana yang dia lakukan. Tapi tidak boleh jadi sumber penyelidikan," kata Bambang, Senin (25/4/2016).

LSM FITRA menilai, hasil Rapat Kabinet Terbatas itu makin menegaskan bahwa RUU Tax Amnesty sangat dekat dengan pengampunan terhadap dana hasil kejahatan ekonomi dan korupsi. Apalagi diyakini dana-dana itu telah beranak-pinak dan berkembang di luar negeri, termasuk dana hasil korupsi BLBI.

"Ini adalah karpet merah (sambutan kehormatan) bagi konglomerasi hitam, koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi," tulis FITRA dalam pernyataan yang diteken Sekretaris Nasional Yenny Sucipto dan Manajer Advokasi Apung Widadi.

FITRA menilai alasan yang dijadikan landasan pemerintah menggunakan RUU Tax Amnesty untuk menyelamatkan defisit APBN tidak bisa diterima akal sehat.

"(Itu menunjukkan) negara cenderung tunduk pada konglomerat, pengusaha dan koruptor. Buktinya, dengan asumsi upeti di RUU yang hanya 2,3 dan 6 persen, perkiraannya hanya Rp50 triliun dari ribuan triliun (dana di luar negeri) yang akan masuk APBN," begitu tanggapan FITRA.

LSM pemantau transparansi anggaran ini menyebut, RUU Tax Amnesty tak menguntungkan negara melainkan hanya menguntungkan konglomerasi, pengusaha dan koruptor.

Penolakan publik terhadap RUU Tax Amnesty bergulir keras sejak awal April lalu, melalui petisi di situs gerakan sosial Change.org.

Petisi itu digagas Forum Pajak Berkeadilan, yang terdiri dari Perkumpulan Prakarsa, ASPPUK, ICW, Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Indonesian Legal Roundtable (ILR),  PWYP Indonesia, YLKI, INFID, TII dan lain-lain.

Hingga 26 April 2016, lebih dari 8,800 orang menandatangani petisi menolak RUU Tax Amnesty itu.

Data yang dilansir Global Financial Integrity (GFI) pada Desember 2015 menyebutkan Indonesia berada pada posisi ke-9 negara dari negara-negara dengan aliran uang haram (illicit financial flows) tertinggi di dunia.

Dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013), Indonesia telah kehilangan potensi penerimaan pajak dari sekitar USD 18.8 miliar (Rp 2.400-an triliun) atau rata-rata Rp 200-an triliun per tahun dana yang keluar dari Indonesia, hanya dari transaksi perdagangan yang tercatat.

Forum Pajak Berkeadilan menyebut, angka Rp200 triliun per tahun itu setara dengan 10 persen total APBN, dan dana itu mengalir ke luar dari Indonesia tanpa membayar pajak. Padahal dana sebesar itu cukup untuk membiayai belanja kesehatan di seluruh Indonesia selama satu tahun.

Dalam petisi itu, Forum Pajak Berkeadilan menyebutkan pemerintah sudah terlalu sering mengeluarkan pengampunan pajak, tanpa disertai penegakan hukum perpajakan.

"Pemerintah Indonesia telah empat kali melakukan pengampunan pajak melalui tax amnesty, dan sunset policy, yaitu tahun 1965, 1984, 2008 dan 2015. Namun dalam implementasinya, pemerintah Indonesia gagal mendongkrak tingkat kepatuhan pajak. Sementara tingkat penerimaan pajak turun, dan tax ratio tidak naik secara signifikan," begitu tulis Forum Pajak Berkeadilan dalam petisinya di situs gerakan sosial Change.Org.

Forum Pajak Berkeadilan menilai keputusan pemerintah untuk memberikan pengampunan pajak dianggap tidak adil kepada masyarakat yang taat pajak, dan lebih membela kepentingan wajib pajak yang tidak taat pajak.



Editor: Nurika Manan

  • tax amnesty
  • pengampunan pajak
  • FITRA
  • change.org
  • koruptor
  • pajak
  • Bambang Brodjonegoro

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!